TUGAS INDIVIDU
KEWIRAUSAHAAN
PETERNAKAN
DOSEN : DR. IR.
SYAHRIADI KADIR, M.Si
ENTREPRENEUR
NAMA : RAHMA NINGSI
NIM : I 111 12 295
KELAS : A (GANJIL)
PROGRAM STUDI
PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Dalam kewirausahaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia
hanya merupakan produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi
dari sebuah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin mengaktualisasikan diri
dalam suatu kehidupan mandiri. Keadaan kaya miskin, sukses gagal, naik dan
jatuh merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang
pengusaha, tidak peduli betapapun piawainya ia.
Ilmu kewirausahaan hanya menggariskan bahwa seorang Wirausahawan
yang baik adalah sosok pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak
berputus asa saat jatuh. Tidak ada satu suku katapun dari kata “Wirausaha” yang
menunjukkan arti kearah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula kata
wirausaha itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan sosial,
golongan ataupun kelompok elite tertentu.
Demikian juga dalam dunia kewirausahaan. Pengusaha bersaing
tidak hanya dengan perusahaan-perusahaan pesaing, tetapi juga dengan keadaan
dan situasi tertentu, seperti moneter dan ekonomi, politik, perubahan
kebijaksanaan pemerintah. Untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang
mungkin terjadi, seorang Wirausahaan perlu melatih naluri keWirausahaannya,
agar selalu siap menghadapi hal apapun dan tetap bertahan hidup.
Tujuan
Penulisan
Tujuan makalah ini
dibuat guna untuk memenuhi tugas pembelajaran yang diberikan oleh dosen dengan
harapan makalah ini bermanfaat kepada para pembaca pada umumnya. Selain itu
diharapkan kepada pada pembuat makalah mengerti dan memahami isi makalah
sebagai bahan pelajaran dalm kehidupan menuju sukses.
Ruang
Lingkup
1.
Apa itu Green revolution
2.
Apa itu Green entrepreneur
3.
Apa itu Blue entrepreneur
PEMBAHASAN
Green
Revolution
Istilah
Revolusi Hijau sebenarnya muncul sejak Norman
Borlaugh mendapat julukan Bapak Revolusi Hijau pada tahun 1944, atas
keberhasilannya meningkatkan pangan di Meksiko. Sejak itu bisnis teknologi
pertanian menjadi marak dan mendunia. Program ini mulai dikenal di Indonesia
sekitar tahun 1960-an, yaitu pada masa kepemimpinan Soeharto. Tujuan utama
revolusi hijau adalah untuk menaikkan produktifitas sektor pertanian, khususnya
sub-sektor pertanian pangan, melalui paket teknologi pertanian modern. Paket
tersebut terdiri atas pupuk non-organik, obat-obatan pelindung tanaman, dan
bibit padi unggul.
Secara harafiah
Revolusi Hijau (Green Revolution) adalah perubahan secara cepat dalam
memproduksi bahan makanan. Asumsinya berangkat dari hipotesa produksi bahan
makanan tidak akan mencukupi yang dibutuhkan manusia jika hanya mengandalkan
cara berproduksi tradisional.
Revolusi hijau
merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk
meningkatkan
produksi pangan. Peningkatan tersebut dengan cara mengubah dari
pertanian
tradisional menjadi pertanian modern, yakni pertanian dengan memanfaatkan atau
menggunakan teknologi lebih maju dari waktu sebelumnya. Jadi revolusi hijau
terletak pada pemanfaatan hasil penemuan teknologi up to date.
Terdapat dua metode untuk meningkatkan produksi
bahan makanan, yakni
metode
ekstensifikasi dan intensifikasi. Metode Ekstensifikasi dilakukan dengan cara
memperluas lahan pertanian dalam meningkatkan produksi bahan makanan. Dengan
metode ini maka akan dibuka lahan-lahan baru untuk ditanami, seperti dengan
membuka hutan, mengubah lahan tandus menjadi lahan produktif. Sedangkan metode
Intensifikasi adalah dengan cara meng-intensif-kan lahan pertanian yang ada,
supaya produktivitas lahan terus meningkat.
Ciri-ciri
Revolusi Hijau :
1. Tumbuhan
yang ditanam terspesialisasi atau istilah lainnya Monokultur. Teknik ini dilakukan dikarenakan perhitungan pragmatis,
bahwa jika tanaman yang sama, maka kebutuhan akan obat dan pupuk juga akan
sama. Jadi mempermudah merawatnya.
2. Penggunaan
bibit yang unggul yang tahan terhadap penyalkit tertentu dan juga hanya cocok
ditanam dilahan tertentu. Kemajuan teknologi dengan teknik kultur jaringan,
memungkinkan memperoleh varietas tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Dan
dengan penelitian terus menerus, maka semakin hari umur tanaman makin pendek.
3. Pemanfaatan
teknologi maju, misalnya bajak oleh binatang yang digantikan oleh mesin jetor.
Dampaknya adalah semakin hemat tenaga kerja, tetapi akan memerlukan modal yang
besar.
Revolusi hijau di Indonesia dilakukan dengan
ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan
areal, seperti membuka hutan untuk lahan pertanian baru. Terbatasnya areal
menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi
dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu:
1.
Teknik pengolahan lahan pertanian
2.
Pengaturan irigasi
3.
Pemupukan
4.
Pemberantasan hama
5.
Penggunaan bibit unggul
Pada tahun 70-an dikenal dengan Revolusi Hijau
Indonesia, yaitu Bimas. Penguasa pun mati-matian berusaha mensukseskan program.
Ada program subsidi
terhadap
pupuk, kredit pertanian, penetapan harga dasar gabah, diberdirikannya Bulog,
pembangunan irigasi dari pinjaman luar negeri, penanaman bibit yang seragam,
hingga penyuluhan. Setelah Bimas dianggap gagal memacu pertumbuhan di sektor
pertanian tanaman pangan, pemerintah memperkenalkan Inmas. Dengan tambahan
program penanggulangan hama dan penyakit tanaman dalam Inmas, sebenarnya Inmas
ini tidak jauh berbeda dengan Bimas.
Jika dilihat dari paradigma yang dipakai =
pertumbuhan ekonomi, maka pelaksanaan Bimas maupun Inmas bisa dikatakan berhasil.
Di tahun 80-an produktivitas pertanian padi meningkat mencapai dua kali lipat
dibanding tahun 60-an. Bahkan pada tahun 1985, Indonesia bisa mewujudkan
swasembada beras selama empat tahun. Setelah itu negeri ini kembali menjadi
pengimpor beras terbesar hingga saat ini.
Namun keberhasilan tersebut bukan tanpa resiko.
Pengorbanan untuk sebuah "swasembada" sangat mahal. Keinginan untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi telah membuat penguasa bertindak sangat kejam
terhadap masyarakat lemah. Di satu sisi harus diakui bahwa Bimas dan Inmas
sebagai bentuk Revolusi Hijau di Indonesia telah melepaskan petani dari
pertanian tradisional. Namun itu tidak berarti telah mensejahterakan petani.
Petani yang memiliki lahan luas program Inmas dan
Bimas memang dapat
meningkatkan
kesejahteraannya. Tetapi bagi petani gurem (mayoritas petani), program-program
tersebut justru telah menjerat ke dalam ketergantungan yang semakin dalam yang
pada akhirnya memperpanjang proses pemiskinan. Dengan
paket
yang ada dalam Bimas maupun Inmas, petani harus mengikuti pola produksi yang
telah ditetapkan. Pupuk kimia, pola tanam yang seragam, penggunaan bibit yang
terkadang dengan merk tertentu, dan biasanya dibuat oleh pabrik tertentu, serta
pestisida atau obat-obat pertanian lainnya yang juga telah distandarkan. Semua
itu membuat petani tergantung pada industri bibit, pupuk dan pestisida kepada
produsen tertentu.
Keragaman bibit lokal yang dimiliki petani secara
turun temurun selama ini, kini telah beralih tangan. Hal ini menjadi dilema,
sebab keragaman bibit lokal yang dimiliki petani secara turun temurun, kini
telah beralih tangan. Saat ini bibit padi lokal yang masih tersisa di Indonesia
sekitar 25 jenis. Sebelum Revolusi Hijau, kita memiliki hampir 10.000 macam jenis
bibit padi lokal. Semuanya tersimpan dalam IRRI (International Rice Research
Institute) di Filipina dan menjadi milik AS.
Kearifan petanipun telah beralih fungsi menjadi
penyeragaman. Kemandirian digantikan dengan ketergantungan. Keseimbangan
lingkungan dan sosial terganggu akibat penggunaan bahan-bahan kimia non organik
tinggi seperti pupuk buatan, insektisida, pestisida, fungisida dan herbisida.
Demi mengejar pertumbuhan tadi, pemakaian bahan-bahan kimia tadi dilevel petani
dipergunakan secara serampangan. Berpuluh-puluh tahun petani hanya mengikuti
apa saja yang diperintahkan oleh penguasa melalui penyuluh pertanian lapangan
(PPL) dan penyuluh pertanian special (PPS). Petani hanya menjadi pelaksana
program ditanahnya sendiri.
Kepemimpinan lokal yang biasa tumbuh diantara petani
pelan tapi pasti akhirnya termusnahkan. Begitu pula proses belajar mengajar di
antara mereka. Struktur organisasi tradisional dirusak dan dibuat seragam.
Dibentuk dari atas secara sentralistik dan bukan lahir atas kesadaran sendiri
dan sesuai kebutuhan mereka. Berpuluh tahun petani menjadi kelompok masyarakat
bisu yang hanya bias mendengar tetapi tidak bisa bersuara. Situasi itu
berlangsung hingga saat ini. Petani selalu dalam posisi paling pinggir dan
dipinggirkan. Bahkan untuk meminta pemerintah memenuhi janjinya yang dinyatakan
sendiri dalam Instruksi Presiden tentang harga dasar gabah saja petani tidak
mampu.
Tidak hanya itu, paket Revolusi Hijau yg menggunakan
teknologi dan sarana produksi dari negara barat pada dasarnya mengabaikan
keberadaan perempuan disektor pertanian. Diperkenalkannya bibit baru telah
meniadakan peran perempuan sebagai penyeleksi benih di usaha tani keluarganya.
Begitu pula saat panen. Tidak lagi dilakukan dengan ani-ani tetapi dengan
sabit. Peran perempuan dengan sendirinya telah digantikan. Juga dalam
proses-proses pasca panen selanjutnya.
Green
Entrepreneur dan Blue Entreprenuer
Peran kepemimpinan menjadi sangat strategis
dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan dengan pendekatan entrepreneur Biru.
Sumberdaya alam yang melimpah akan menjadi kurang berarti apabila tidak ada
peran kepemimpinan yang mampu menggerakan segenap potensi yang ada dalam
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Oleh karena itu, Perguruan
tinggi mempunyai peran yang sangat penting untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin
yang mampu mewujudkan tujuan pembangunan melalui pendekatan entrepreneur Biru.
"Untuk itu, perguruan tinggi dituntut untuk lebih menekankan pada kegiatan
pengembangan kepemimpinan bagi para mahasiswa yang menumbuhkan semangat
entrepreneurship". Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan,
Sharif C. Sutardjo, pada kuliah umum di civitas akademika Universitas Trilogi,
di Jakarta (27/03) entrepreneur Biru merupakan sebuah model entrepreneur baru
untuk mendorong pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan kerangka pikir
seperti cara kerja ekosistem. Paradigma Entrepreneur Biru mengajak kita belajar
dari alam dan menggunakan logic of ecosystem didalam menjalankan pembangunan.
Untuk itu, penerapan konsep Entrepreneur Biru membutuhkan dukungan pengetahuan
dan teknologi. Implementasinya di sektor Kelautan dan Perikanan membutuhkan
cutting-edge innovations yang tidak hanya mampu memanfaatkan sumberdaya alam
secara berkelajutan, tetapi lebih konkrit inovasi sistem produksi bersih tanpa
limbah. Entrepreneur Biru hanya akan menjadi sebuah konsep semata tanpa ada
peran entrepreneurs atau investor. Dunia riset dan teknologi harus dekat dengan
dunia usaha, hasil-hasil riset harus benar-benar terbukti memadai. Kolaborasi
dan integrasi antara dunia pendidikan atau riset, pemerintah dan swasta adalah
kunci dalam implementasi Entrepreneur Biru.
Universitas Trilogi sebagai center of
excellence yang memiliki kepakaran dalam dunia riset dan pengembangan teknologi
perlu menyambut baik tantangan ini, karena saya yakin Entrepreneur Biru adalah
masa depan dan kita sedang menuju ke sana. Menurut Sharif, konsep Entrepreneur
Biru memang bukan identik dengan entrepreneur kelautan atau ocean-based
economy, namun prinsip-prinsip dasarnya dapat diterapkan di sektor kelautan dan
perikanan, terutama untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien
dan tidak merusak lingkungan, namun mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, Entrepreneur Biru (blue entrepreneur) juga bukan Entrepreneur
Hijau (green entrepreneur) yang diterapkan di sektor kelautan dan perikanan,
karena ada beberapa prinsip yang tidak begitu pas dengan karakteristik sektor
kelautan dan perikanan. “entrepreneur Biru pada akhirnya akan menjamin bahwa
suatu pembangunan yang dijalankan tidak hanya akan menghasilkan pertumbuhan
ekonomi, akan tetapi juga menciptakan lebih banyak lapangan kerja sekaligus
menjamin terjadinya keberlanjutan,” paparnya. Penerapan konsep
Entrepreneur Biru dalam pembangunan sektor Kelautan dan Perikanan akan terus
dikaji dan disempurnakan. Pendekatan Entrepreneur Biru dikembangkan untuk
mendorong peningkatan peran swasta dalam pembangunan entrepreneur pro
lingkungan melalui pengembangan bisnis dan investasi inovatif dan kreatif.
Tujuannya tidak lain menghasilkan peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja yang semakin luas dan pendapatan masyarakat meningkat, namun langit dan
laut tetap biru. “Dalam kaitan ini, kebijakan pembangunan sektor Kelautan dan
Perikanan akan diarahkan untuk mendorong agar para pelaku pembangunan, terutama
bisnis dan investor dapat mengembangkan usahanya dengan prinsip-prinsip
efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam dengan menghasilkan lebih banyak produk
turunan dan produk lain terkait, sehingga menghasilkan revenue lebih besar,”
jelas Sharif.
Pendapatan
dari produk turunan, lanjut Sharif, diharapkan dapat memberikan hasil jauh
lebih besar dari produk awal. Prinsip lainnya, adalah inovasi dan kreativitas
dalam berbisnis, termasuk di dalamnya diversifikasi produk, sistem produksi,
pemanfaatan teknologi, financial engeneering, dan menciptakan pasar baru bagi
produk-produk yang dihasilkan. Selain itu, yang penting adalah perubahan secara
dramatis cara berbisnis, yaitu dengan cara berpikir out of the box. Beberapa
contoh penerapan konsep blue economy, dengan memanfaatkan potensi beberapa
komoditas hasil laut, antara lain ikan segar dapat menghasilkan ikan kaleng,
beku, tepung ikan, minyak ikan, makanan ternak, kulit samak, gelatin, dan
kerajinan. Dari produk tersebut dapat dihasilkan produk turunan paling tidak 6
jenis. Udang dapat menghasilkan daging udang dan limbah udang sebagai bahan
baku. ”Limbah udang diproses menjadi khitin dan khitosan. Semantara khitin
menghasilkan berbagai produk seperti: bahan untuk fotografi, kertas, farmasi,
kosmetik, pengolahan dan pengawetan kayu, dan lain sebagainya. Pada 26 November 2012,
Gunter Pauli, penulis buku Blue Economy (2010), datang ke Indonesia
dan memaparkan pemikirannya tentang entrepreneur biru (blue entrepreneur).
Ternyata ini juga ada
kaitannya dengan apa yang telah disampaikan Pemerintah RI tentang entrepreneur biru
di Rio+20 Juni 2012. Apa perbedaan entrepreneur biru (EB) dan entrepreneur hijau
(EH) yang saat Rio+20 juga hangat dibicarakan? Apa urgensinya bagi pembangunan
ekonomi di Indonesia, Awalnya orang mengira EB wujud EH di sektor kelautan dan
perikanan. Namun, ternyata ada perbedaan mendasar meski keduanya bicara soal
keberlanjutan. EH mendorong transformasi ekonomi ke arah investasi ramah
lingkungan dengan karbon rendah, efisiensi sumber daya, dan kesejahteraan
sosial, serta mendorong terciptanya pola konsumsi dan pertumbuhan produksi
secara berkelanjutan. Pada level paradigma, EH dipengaruhi aliran modernisasi
ekologi, sebuah aliran yang berusaha menyinergikan ekonomi dan lingkungan
dengan pendekatan yang cenderung positivistik. Seolah proses sosial ekonomi dan
ekologi ialah linier dan universal. Pendekatan ini saat ini banyak dianut meski
harus diakui terdapat sejumlah kelemahan, seperti menghasilkan produk yang
mahal (ekolabel) sehingga tidak terjangkau oleh orang miskin, perdagangan
karbon yang tidak adil untuk dunia ketiga, dan sering kali hanya menyentuh
solusi permukaan saja. Begitu pula pengembangan wisata bahari yang sering kali
menyisakan konflik sosial dengan nelayan. Sehingga EH sering kali digolongkan
sebagai bagian dari apa yang disebut Bookchin (1991) sebagai ekologi-dangkal (shallow
ecology).
Gunter Pauli berusaha
mengoreksi praktik EH ini dan mengembangkannya menjadi entrepreneur Biru. Ada
mimpinya untuk menciptakan langit dan laut yang tetap biru dan menyejahterakan.
Laut dan langit biru itulah simbol lingkungan yang bersih. Secara paradigmatik,
Pauli mengakui EB terinsipirasi aliran ekologi-dalam (deep ecology)
sebagaimana diperkenalkan Arne Naess tahun 1970-an. Aliran ini menekankan
pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak
menempatkan alam sebagai obyek. Selain itu, menekankan pentingnya memahami
prinsip bagaimana alam bekerja, yang populer dengan istilah kembali ke alam (back
to nature). Aliran ini lebih konstruktivistik dan nonlinier sehingga
kekhasan lokasi sangat diperhatikan. Tak ada resep tunggal untuk mengatasi
masalah lingkungan. Pembangunan didesain sesuai bagaimana ekosistem bekerja
karena diakui bekerja secara efisien. Siklus ekologi menjadi inspirasi untuk
memecahkan masalah. Sebagai contoh, bagaimana mengembangkan budi daya ikan
tanpa pakan karena spesies yang dibudidayakan memerhatikan trophic
level. Juga, bagaimana mengembangkan sistem pertanian terpadu dengan
memanfaatkan limbah peternakan sebagai sumber pupuk organik dan biogas. Apa
yang dipikirkan Pauli, sebenarnya mirip yang diungkapkan ahli pertanian Jepang,
Fukuoka dalam bukunya Revolusi Sebatang Jerami. Selain prinsip efisiensi sumber
daya di atas, ada sejumlah prinsip yang dianut dalam EB (Pauli, 2010). Pertama,
nirlimbah (zero waste) dan menekankan sistem siklikal dalam proses produksi
sehingga tercipta produksi bersih. Artinya, limbah dari sebuah proses produksi
akan menjadi bahan baku atau sumber energi bagi produksi berikutnya. Kedua,
inklusi sosial, yang berarti pemerataan sosial dan kesempatan kerja yang banyak
untuk orang miskin. Ketiga, inovasi dan adaptasi, yang memperhatikan prinsip
hukum fisika dan sifat alam yang adaptif. Keempat, efek ekonomi pengganda, yang
berarti aktivitas ekonomi yang dilakukan akan memiliki dampak luas dan tak
rentan terhadap gejolak harga pasar. Hal ini karena EB menekankan produk ganda
sehingga tidak bergantung pada satu produk (core business). Contohnya,
usaha perikanan mestinya tak hanya menghasilkan produk ikan, tetapi mampu
menghasilkan produk turunan yang dapat diambil dari ”limbah” produk awal.
Artinya, EB menekankan pentingnya mutliple cashflow. Yang menarik dari gagasan
Pauli ini ialah dia berhasil membuktikan bahwa pendekatan ekologi-dalam
ternyata bisa diimplementasikan secara ekonomi untuk konteks dunia seperti
sekarang ini. Ada 100 inovasi ekonomi yang ia hasilkan dengan menggunakan
prinsip kerja alam dan dipraktikkan di puluhan negara. Bahkan, inovasi ini bisa
menghasilkan kegiatan usaha yang menguntungkan dan membuka banyak lapangan
kerja baru. Selama ini aliran ini banyak mengilhami gerakan lingkungan hidup di
dunia, termasuk berkembangnya partai politik hijau. Namun, dengan kisah
tersebut membuktikan bahwa aliran ekologi-dalam juga bisa dibumikan secara
ekonomi.
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi
banyak perusahaan-perusahaan tersebut telah mengikuti teori ekonomi hijau ke
biru, sehingga mereka menikmati banyak manfaatnya setelah mereka tahu bahwa
teori hijau ke biru itu sangat berguna bagi perusahaan tersebut. Walaupun pada
awalnya mereka menganggap teori hijau ke biru merasa berat di peritimbangkan mereka,
sehingga tidak mempraktikannya, tetapi setelah mereka menggunakannya mereka
bisa meningkatkan pemafaatan sumber daya alam (SDA) hingga berlipat.
Saran
Menurut
saya Indonesia sudah cukup baik jika atau kalau sudah menerapkan teori ekonomi
hijau ke biru ini. Ini sangat membantu dari segi apapun untuk Negara ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaesfa Yulanda. 2010. Dampak Revolusi Hijau terhadap Petani di Indonesia. Makalah Akhir.
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Latifah Fifi. 2013. Perekonomian
Indonesia.
Universitas Gunadarma. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar