MAKALAH KELOMPOK
INDUSTRI PENGGEMUKAN SAPI/FEEDLOT
RANSUM FEED AND
BABY BEEF
OLEH KELOMPOK II
ARDITIA
ARIF RAHMAN
INDRIANI
RAHMA NINGSI
YUSUF BUDI
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut
kebijaksanaan pemerintah, sub sektor peternakan, sapi potong sebagai salah satu
usaha perlu terus dikembangkan, terutama usaha peternakan sapi potong yang
bersifat usaha keluarga. Bantuan pemerintah dalam mendukung pengembangan ternak
sapi potong antara lain dalah bantuan dan fasilitas, seperti kredit penggemukan
sapi, kredit pembibitan sapi potong, penerapan sistem kontrak lewat
pengembangan sapi potong.
Dalam peternakan sapi
potong, segala upaya dilakukan agar sapi yang dipelihara cepet mengalami
kenaikan berat badan. Salah satu cara baru yang dapat diterapkan dalam upaya
penggemukan sapi potong adalah dengan penggunaan pakan tambahan. Pakan tambahan berupa suatu bahan yang mengandung koloni mikrobe
terpilihdan digunakan untuk mengaturkeseimbangan mikroorganisme di dalam rumen
(alat pencernaan).
Permasalahan yang
terjadi di tingkat peternak adalah produktivitas ternak potong rata-rata masih
rendah. Hal ini disebabkan kualitas ransum, bibit dan tatalaksana pemeliharaan
yang belum optimal. Salah satu upaya pemecahan masalah rendahnya pertambahan
bobot badan harian adalah dengan meningkatkan kualitas ransum pada saat
penggemukan. Peningkatan kualitas ransum terutama kandungan Protein Kasar (PK)
dan Total Digestible Nutrients (TDN) diperlukan pada saat penggemukan. Hal ini
berkaitan dengan meningkatnya proses metabolisme tubuh untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok dan pertambahan bobot badannya. Hal inilah yang melatarbelakangi
dibuatnya makalah mengenai Ransum Feed And Baby Beef.
B.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun
tujuan penulisan makalah ini yaitu diharapkan dalam penulisan makalah ini
mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang bagaimna ransum yang baik bagi
sapi pedet dan bagaimana cara pemberiannya
C.
Permasalahan
1.
Apa itu ransum?
2.
Apa itu ransum seimbang?
3.
Bagaimana pemberian ransum pada sapi
pedet
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
Ransum
Ransum (pakan)
merupakan campuran dari dua atau lebih bahan pakan yang diberikan untuk seekor ternak selama sehari semalam. Ransum harus dapat memenuhi kebutuhan zat nutrien
yang diperlukan ternak untuk berbagai
fungsi tubuhnya, yaitu untuk hidup pokok, produksi maupun reproduksi Pada umumnya ransum untuk ternak ruminansia terdiri
dari pakan hijauan dan pakan
konsentrat. Pakan pokok (basal) dapat berupa
rumput, legum, perdu, pohon–pohonan serta tanaman sisa panen, sedangkan pakan konsentrat antara lain berupa biji-bijian, bungkil, bekatul dan
tepung ikan.
Ransum seimbang
merupakan ransum yang diberikan selama 24 jam yang mengandung semua zat nutrien
(jumlah dan macam nutriennya) dan perbandingan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak (Chuzaemi, 2002).
Pengetahuan tentang
kualifikasi bahan pakan diperlukan untuk menyusun ransum seimbang. Penyusunan
ransum seimbang yang sesuai dengan kebutuhan ternak, diharapakan akan dapat
menghasilkan produksi yang optimal.
B.
Bahan
Pakan Ternak
Nutrien yang dikonsumsi
pedet dibutuhkan untuk hidup pokok dan pertambahan bobot badan dalam bentuk
deposit protein dan mineral. Kebutuhan nutrien pedet antara lain bergantung
kepada umur, bobot badan dan pertambahan bobot badan (NRC, 2001).
Kebutuhan hidup pokok
yaitu kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Jika sapi memperoleh pakan
lebih dari kebutuhan hidup pokok, sebagian kelebihan nutrien tersebut akan
diubah menjadi bentuk produksi, misalnya pertumbuhan atau kenaikan bobot badan,
produksi susu atau produksi tenaga (Parakkasi, 1999).
Tingkat pertambahan
bobot badan maksimum yang dapat diraih ditentukan oleh tingkat konsumsi energi
(Roy, 1980). Menurut Cullison et al. (2003), fungsi nutrien bagi ternak adalah
menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel
tubuh, mengatur berbagai fungsi, proses dan aktivitas dalam tubuh.
Menurut Siregar (1994)
bahan pakan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu konsentrat dan bahan
berserat. Konsentrat berupa bijian dan butiran sedang bahan berserat yaitu
jerami dan rumput yang merupakan komponen penyusun ransum. Pakan adalah bahan
yang dimakan dan dicerna oleh seekor hewan yang mampu menyajikan hara atau
nutrien yang penting untuk perawatan tubuh, pertumbuhan, penggemukan, dan
reproduksi.
Bahan pakan yang baik
adalah bahan pakan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan
mineral serta tidak mengandung racun yang dapat membahayakan ternak yang mengkonsumsinya
(Darmono, 1999).
1.
Pakan Hijauan
Pakan hijauan adalah
semua bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa
daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting dan bunga (Sugeng, 1998).
Menurut Lubis (1992) pemberian pakan pada ternak sebaiknya diberikan dalam
keadaan segar. Pemberian pakan yang baik diberikan dengan perbandingan hijauan
dengan konsentrat 60 : 40, apabila hijauan yang diberikan berkualitas rendah perbandingan
hijauan dengan konsentrat dapat menjadi 55 : 45 dan hijauan yang diberikan
berkualitas sedang sampai tinggi perbandingan itu dapat menjadi 64 : 36
(Siregar, 1994).
Seiring dengan
bertambahnya konsumsi pakan padat seperti rumput dan calf starter (ransum
pemula) maka papille rumen akan berkembang yang diiringi dengan pertumbuhan
mikroorganisme rumen (Rakhmanto, 2009). Jumlah mikroorganisme akan stabil jika
pH rumen mendekati pH netral yang dicapai pada umur sekitar delapan minggu
(Roy, 1980).
Jumlah bahan kering
yang dapat dikonsumsi pada pakan cair lebih banyak dibandingkan dengan pakan
padat sampai anak sapi mempunyai berat hidup 70 kg dikarenakan energi dari susu
dapat tercerna lebih efisien oleh pencernaan monogastrik dibanding dengan
pencernaan pakan padat pada ruminan (Roy, 1980). Sapi akan mengkonsumsi bahan
kering berkisar antara 1,4-2,7% dari bobot badannya (NRC, 2001).Banyaknya
hijauan segar yang diberikan dalam jumlah cukup untuk pertumbuhan, adalah 10%
dari berat badannya (Bandini, 1997).
2. Konsentrat
2. Konsentrat
Pakan penguat
(konsentrat) adalah pakan yang mengandung serat kasar relatif rendah dan mudah
dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi bahan pakan yang berasal dari
biji-bijian seperti jagung giling, dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, dan berbagai
umbi. Fungsi pakan penguat adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada
bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah (Sugeng, 1998).
Pemberian konsentrat
pada pedet harus dilakukan secara bertahap. Hal ini disebabkan adanya
keterbatasan kemampuan rumen yang belum berkembang dan kebiasaan pedet yang
lebih menyukai pakan cair. Pakan padat yang diberikan pada awal pertumbuhan
pedet dikenal dengan calf starter. Pakan penguat diberikan sebanyak 1 % dari
berat badan (Bandini, 1997). Ransum pemula yang diberikan biasanya berupa
campuran dari berbagai jenis bahan pakan berenergi dan protein tinggi
(Parakkasi, 1999).
Konsentrat dapat
merupakan sumber protein maupun sumber energi. Konsentrat sumber energi adalah
bahan pakan yang mengandung protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar
kurang dari 18%. Pemberian konsentrat yang terlampau banyak akan meningkatkan
konsentrasi energi ransum dan dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga
tingkat konsumsi berkurang (Parakkasi, 1999).
Konsentrat pedet ini
harus dibarengi dengan tersedianya air untuk menjamin perkembangan rumen.
Pemberian dilakukan sedikit demi sedikit. Pakan berserat diberikan sampai pedet
berumur delapan minggu. Pemberian air sangat diperlukan dan selalu ada untuk
menjamin perkembangan pedet. Menurut hasil penelitian, pedet yang tidak diberi
minum akan menurunkan 31% konsumsi konsentrat dan menurunkan bobot badan sampai
38% dibandingkan dengan pedet yang diberi cukup air.
Konsumsi air yang masuk
ke dalam rumen akan merangsang pertumbuhan rumen (Parakkasi, 1999). Konsumsi
calf starter oleh pedet di usia dini sangat penting untuk pengembangan organ
pencernaan yang berfungsi untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Ransum
starter yang dikonsumsi sejak lepas kolostrum dapat mempercepat periode penyapihan.
Penyapihan pada pedet dapat dilakukan saat konsumsi ransum calf starter
mencapai 0,5-0,6 kg/ekor/hari (Parakkasi, 1999).
Konsentrat biasanya
tersusun dari berbagai bahan pakan biji-bijian dan hasil ikutan dari pengolahan
hasil pertanian maupun industri. Pemberian konsentrat dimaksudkan untuk
mempercepat pertumbuhan sapi. Namun, pemberian pakan penguat berupa konsentrat
harus memperhitungkan nilai ekonomisnya. Pemberian konsentrat yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan kerugian bila tidak diiringi peningkatan pertumbuhan
atau produksi yang sesuai (Parakkasi, 1999).
Jika ransum yang
seluruhnya terdiri dari makanan penguat atau hijauan hanya sedikit, maka
efisiensi penggunaan makanan diperbaiki tetapi harus diberi sumber energi yang
tinggi dimana pertambahan berat badan tidak dipengaruhi dan jika hijauan dalam
ransum dihilangkan maka sangat berbahaya karena ransum tidak mengandung serat
kasar yang tinggi, minimal 10% hijauan harus ada dalam ransum untuk menghindari
gangguan pencernaan (Wello, 2012).
Menurut Lubis (1992)
sumber-sumber bahan konsentrat berasal dari:
·
Konsentrat yang berasal dari tanaman
Konsentrat ini meliputi
makanan yang mengandung tenaga yang tinggi dan protein tinggi. Kelompok
terbanyak adalah biji-bijian beras, jagung, sorghum dan “millet”. Scalar energi
(SE) dan total digestible nutrient (TDN) yang tinggi, kandungan potein kasar
menengah dan serat kasar yang rendah, kandungan mineral bervariasi. Konsentrat
ini meliputi kacang giling, kedelai, wijen, biji palm, biji kapas, biji karet
dan kelapa dan mempunyai kandungan SE dan TDN yang tinggi dan kandungan protein
kasar/crude protein (CP) antara 15-45 %.
·
Konsentrat yang berasal dari hewan
Konsentrat ini terdiri
dari tepung daging, tepung tulang dan daging, tepung darah, hasil samping
pengolahan ikan seperti tepung ikan dan ikan kecil, hasil sampingan pengolahan
susu seperti bubuk susu skim, “whey” dan lemak susu. Bahan-bahan ini ditandai
dengan protein kualitas tinggi yang relatif banyak jumlah yang dikandungnya dan
kandungan mineral yang tinggi.
Kandungan gizi konsentrat dibagi dua golongan yaitu:
Kandungan gizi konsentrat dibagi dua golongan yaitu:
a) Konsentrat
sebagai sumber protein, apabila kandungan protein lebih dari 18%, Total
Digestible Nutrision (TDN) 60%. Ada konsentrat yang berasal dari hewan dan
tumbuhan. Berasal dari hewan mengandung protein lebih dari 47%. Mineral Ca
lebih dari 1% dan P lebih dari 1,5% serta kandungan serat kasar dibawah 2,5%.
Contohnya : tepung ikan, tepung susu, tepung daging, tepung darah, tepung bulu
dan tepung cacing. Berasal dari tumbuhan, kandungan proteinnya dibawah 47%,
mineral Ca dibawah 1% dan P dibawah 1,5% serat kasar lebih dari 2,5%. Contohnya
: tepung kedelai, tepung biji kapuk, tepung bunga matahari, bungkil wijen,
bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit dll.
b) Konsentrat
sebagai sumber energi, apabila kandungan protein dibawah 18%, TDN 60% dan serat
kasarnya lebih dari 10%. Contohnya : dedak, jagung, empok, polar dll (Anonimb,
2012).
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan pakan penguat adalah sebagai berikut:
ü Ketersediaan
harga satuan bahan pakan mudah diperoleh di suatu daerah, dengan harga
bervariasi, sedang di beberapa daerah lain sulit didapat. Harga per unit bahan
pakan sangat berbeda antara satu daerah dan daerah lain, sehingga keseragaman
harga per unit nutrisi (bukan harga per unit berat) perlu dihitung terlebih
dahulu.
ü Standar
kualitas pakan penguat dinyatakan dengan nilai nutrisi yang dikandungnya
terutama kandungan energi dan potein. Sebagai pedoman, setiap kilogram pakan
penguat harus mengandung minimal 2500 Kcal energi, 17% protein, dan serat kasar
12%.
ü Metode
dan teknik pembuatan untuk pakan penguat adalah metode simultan, metode
segiempat bertingkat, metode aljabar, metode konstan kontrol, metode ekuasi
atau metode grafik (Anonimc, 2012).
Berikut adalah bahan
pakan yang ditambahkan dalam konsentrat:
• Dedak Padi
• Dedak Padi
Dedak padi adalah bahan
pakan yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses
penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan dari penumbukan padi. Dedak
merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang
mengandung bagian luar yang tidak tebal, tetapi tercampur dengan penutup beras.
Hal ini mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak
(Parakkasi, 1999). Dedak Kasar adalah kulit gabah halus yang bercampur dengan
sedikit pecahan lembaga beras dan daya cernanya relatif rendah. Sebenarnya
dedak kasar ini sudah tidak termasuk sebagai bahan makanan penguat (konsentrat)
sebab kandungan serat kasarnya relatif terlalu tinggi (35.3%) (Yudith, 2010).
Dedak halus biasa ini
banyak mengandung komponen kulit gabah, juga selaput perak dan pecahan lembaga
beras. Kadar serat kasarnya masih cukup tinggi akan tetapi sudah termasuk dalam
golongan konsentrat karena kadar serat kasar dibawah 18%. Martabat pati nya termasuk
rendah dan hanya sebagian kecil saja yang dapat dicerna (Yudith, 2010).
·
Ampas Tahu
Ampas tahu adalah ampas yang diperoleh dari pembuatan tahu
yang diberikan kepada ternak besar dan kecil. Biasanya pemberianya dicampur
dengan bekatul diberi air dan lebih baik lagi jika dicampur dengan ketela yang
telah dicacah maka pertambahan atau pertumbuhan akan lebih optimal. Ampas tahu
dalam keadaan segar mengandung lebih dari 80% air. Pemanfaatan ampas tahu
sangat efektif apalagi pada sapi potong pertambahan berat badan akan lebih
cepat. Selain pertumbuhan lebih cepet karkasnya bisa mencapai 60% dari berat
sapi hidup (Siregar, 1994).
•
Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari
ekstraksi daging buah kelapa segar atau kering. Mutu standar bungkil kelapa
meliputi kandungan nutrisi dan batas tolerasi aflatoxin (Chuzaemi dkk, 1997).
Bungkil kelapa banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi (Hamid dkk, 1999). Protein kasar yang
terkandung pada bungkil kelapa mencapai 23%, dan kandungan seratnya yang mudah
dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan sumber energi
yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti sebagai
bahan pakan pedet terutama untuk menstimulasi rumen dan pakan asal bungkil
kelapa juga terbukti ternak dapat menghasilkan susu yang lebih kental dan rasa
yang enak (Mariyono dan Romjali, 2007). Penambahan bungkil kelapa dapat
meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan pertambahan bobot badan harian.
Ternak ruminansia yang mendapatkan pakan berkualitas rendah sebaiknya diberikan
pakan tambahan yang kaya akan nitrogen untuk merangsang pertumbuhan dan
aktivitas mikroba di dalam rumen (Marsetyo, 2006).
•
Garam
Garam yang dimaksud disini adalah garam dapur (NaCl), dimana
selain berfungsi sebagai mineral juga berfungsi meningkatkan palatabilitas
(Pardede dan Asmira, 1997). Na dan Cl untuk memenuhi kebutuhan produksi
optimum. Hampir semua bahan makanan nabati (khususnya hijauan tropis)
mengandung Na dan Cl relatif lebih kecil dibanding bahan makanan hewani
(Parakkasi, 1999).
•
Tetes tebu (Molasses)
Molasses dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan
penggunaan molasses untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48-60%
sebagai gula), kadar mineral cukup dan disukai ternak. Tetes tebu juga
mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak
seperti kobalt, boron, yodium, tembaga, dan seng, sedangkan kelemahannya ialah
kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak
(Thalib, 2007).
C.
Pengaruh
Pemberian Pakan Berprotein Tinggi
Pakan adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan
oleh hewan. Bahan pakan terdiri dari tanaman, hasil tanaman, dan kadang-kadang
berasal dari ternak serta hewan yang hidup di laut (Tillman dkk, 1991).
Protein berfungsi untuk memperbaiki dan menggantikan sel
tubuh yang rusak, (misalnya pada sapi lanjut usia), pembentukan se-sel baru
dari tubuhnya (misalnya pada pedet), berproduksi (misalnya pada sapi dewasa)
dan diubah menjadi energi (misalnya pada sapi kerja). Protein lebih banyak
dibutuhkan oleh sapi muda yang sedang tumbuh dibandingkan sapi dewasa karena
unsur protein tidak dapat dibentuk dalam tubuh, padahal sangat mutlak
diperlukan, oleh karena itu sapi harus diberi pakan yang cukup mengandung
protein. Protein sangat penting bagi tubuh hewan. Apabila dalam bahan pakan
protein tidak memenuhi kebutuhan hidup ternak maka tubuh tidak akan membentuk
jaringan-jaringan yang harus digantikan, akibatnya pertumbuhan akan terganggu.
Sapi yang baru lahir membutuhkan protein untuk pertumbuhan sedangkan sapi
dewasa protein berfungsi sebagai pengganti jaringan yang telah rusak dan untuk
produksi. Protein yang ada dalam tubuh ternak sapi potong dapat diubah menjadi
energi jika diperlukan. Oleh karena itu, jumlah protein dalam tubuh sapi akan
selalu berkurang. Kebutuhan protein biasanya dinyatakan dalam “Presentase
Protein Total” dan “Protein dapat dicerna dalam ransum”. Sebagai contoh, pada
ransum berserat kasar tinggi, kandungan protein dapat dicerna sikitar 60% dari
protein total sedangkan pada ransum konsentrat tinggi kandungan protein yang
dapat dicerna sekitar 70% (Sudarmono, 2008).
Kandungan protein dalam ransum tergantung pada jumlah yang
diperlukan untuk pokok hidup (diperkirakan sekitar 0,88 gram per berat
metabolik, yaitu berat badan sesungguhnya dipangkatkan 0,75), pertumbuhan dan
fermentasi rumen. Kekurangan protein dalam ransum akan mengakibatkan
pertumbuhan terganggu, namun pemberian yang berlebihan justru akan mengakibatkan
meningkatnya ongkos produksi. Walaupun sapi dapat mengubah protein berkualitas
rendah menjadi berkualitas tinggi dengan adanya mikroorganisme yang terdapat
dalam rumen. Untuk memacu produktifitas sebaiknya pada sapi potong diberikan
protein berkualitas tinggi dan tidak terdegradasi di dalam rumen (Siregar, 1994).
Pada pemberian protein secara feedlot, maka faktor-faktor di
bawah ini perlu diperhatikan (Wello, 2012):
·
Pemberian level protein secara minimal, cukup
untuk kesehatan dan pertumbuhan yang normal.
·
Jumlah protein yang dibutuhkan oleh sapi untuk
pertumbuhan yang maksimal.
·
Pengaruh variasi protein antara level yang
rendah dengan batas level yang tinggi terhadap pertambahan berat badan.
Menurut Wello (2012) metode yang paling banyak digunakan orang
untuk menentukan kebutuhan protein adalah:
·
Persentase protein dalam bahan kering makanan.
·
Perbandingan protein dengan energy
·
Imbangan protein (protein dapat dicerna:
martabat pati)
Ransum yang mengandung hijauan yang tinggi, apabila
metabolism energy (ME) meningkat baik yang disebabkan oleh penambahan makanan
penguat, menyebabkan naiknya konsumsi bahan kering. Sebaliknya, jika ransum
dengan energi tinggi dengan hanya sedikit atau tanpa hijauan akan menyebabkan
konsumsi bahan kering turun, begitu pula konsumsi ME. Jadi kenaikan ME yang
disebabkan oleh karena penambahan makanan penguat ke dalam ransum yang
hijauannnya tinggi menyebabkan pertambahan berat badan yang lebih tinggi
disebabkan oleh karena naiknya konsumsi bahan kering, dimana konsumsi protein lebih
banyak. Sebaliknya jika kenaikan konsumsi ME disebabkan karena konsumsi ransum
yang energinya tinggi (sebagian besar terdiri dari makanan penguat) tanpa
merubah perbandingan protein dan energi dalam ransum, dapat menyebabkan
konsumsi protein berkurang (Wello, 2012).
Ada 3 variasi dalam dasar penentuan kebutuhan protein yaitu:
·
Berdasarkan berat badan hewan
·
Berdasarkan pertambahan berat badan harian
·
Berdasarkan protein dapat dicerna
·
Jika perbandingan ransum dengan makanan penguat
dan hijauan 25% : 75% maka pertambahan berat badan naik sangat nyata dengan
kadar protein 11 – 12% (Wello, 2012).
D.
Pertumbuhan
Pedet Prasapih
Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat
jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak, jantung dan
semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak), serta alat-alat tubuh lainnya.
Lebih lanjut dikatakan pertumbuhan murni adalah penambahan dalam jumlah protein
dan zat-zat mineral, sedangkan pertambahan akibat penimbunan air bukanlah pertumbuhan
murni (Anggorodi, 1984).
Sebagai bagian pertama kehidupan, pedet memiliki perut
sederhana, sama seperti ternak monogastrik. Saat lahir komponen perut yang
belum berkembang dan belum mampu melaksanakan pencernaan pakan. Saat pedet
mulai makan konsentrat (biasanya merupakan campuran antara biji-biian, sumber
protein, mineral dan vitamin) dan air minum, saat itulah rumen mulai
berkembang. Pakan pedet dapat dimulai sejak pedet berumut 4 hari dan pakan
harus diformulasi sehingga disukai dan memiliki kandungan protein, mineral dan
vitamin. Bobot lahir pedet dipengaruhi oleh jenis kelamin, bangsa dan
keturunan. Pedet yang baru lahir memiliki perut yang terbagi menjadi empat,
sama seperti sapi dewasa tetapi hanya abomasum yang berfungsi. Abomasum
memiliki kapasitas dua kali lebih besar dari pada bagian perut yang lain. Rumen
berfungsi baik setelah pedet berumur dua bulan atau jika pedet telah makan
pakan padat atau kering (Roy, 1980).
Periode kritis pemeliharaan pedet adalah saat penyapihan
(penghentian pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun
induk lain). Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1)
dengan melihat umur dari pedet tersebut, 2) dengan melihat bobot badan yang
telah dicapai oleh pedet, dan 3) dengan melihat banyaknya konsumsi bahan kering
(BK) dari ransum starter (Parakkasi, 1999).
Kematian merupakan jumlah ternak yang mati tiap periode waktu
dibagi dengan jumlah ternak yang hidup di awal periode waktu tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian antara lain faktor fisiologi,
anatomis, pakan, penyakit (Anonima, 2012). Mortalitas (kematian) anak sapi
lebih banyak pada induk yang lebih muda. Dari hasil penelitian diketehui bahwa
kematian anak sapi dan induk yang berumur 3, 4 dan 5 tahun, masing-masing
adalah 9,5, 4,3, dan 2,4%. Pedet jantan lebih banyak yang mati dan mengalami
kesukaran partus dari pada pedet betina. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa anak sapi jantan yang mati pada waktu lahir adalah 62%, sedangkan pada
anak sapi betina yang mati dari lahir sampai disapih hanya 52%. Data yang lain
menunjukkan bahwa anak sapi jantan yang mati rata-rata 34,4% sedang pada anak
sapi betina rata-rata 26,5%. Makanan sangat mempengaruhi kemampuan hidup
anak-anak sapi. Penyapihan yang dilakukan setelah hampir melahirkan menyebabkan
berat lahir anaknya lebih rendah. Persentase induk yang membutuhkan pertolongan
pada waktu melahirkan sangat tinggi (Wello, 2011).
Kematian per tahun sapi Bali jantan dan betina umur 3 tahun
atau lebih adalah 0,5%. Angka yang sama ditunjukkan oleh kematian pada umur 1-2
tahun. Pada umur kurang dari 1 tahun kematiannya 4,7%. Penyebab kematian
dibawah umur satu tahun adalah 91% pada umur kurang dari 6 bulan, 65% umur
kurang dari 3 bulan dan 40% kurang dari 1 bulan (Soeharsono dkk, 1983).
E.
Sistem
Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu
intensif, ekstensif, dan mixed farming system (sistem pertanian campuran).
Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan
secara terus-menerus dan (b) sapi di kandangkan pada saat malam hari, kemudian
siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara
intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara
terus-menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and curry. Sistem ini
dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai
berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan
dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif.
Kelemahan terletak pada modal yang dipergunakan lebih tinggi, masalah penyakit
dan limbah peternakan (Safitri, 2011).
Pada sistem pemeliharaan semi intensif, umumnya ternak
dipelihara dengan cara sapi-sapi ditambatkan atau digembalakan di ladang,
kebun, atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur pada siang hari. Sore
harinya, sapi tersebut dimasukkan ke dalam kandang sederhana dan lantainya dari
tanah yang dipadatkan. Pada malam hari, sapi diberi pakan tambahan berupa
hijauan. Dapat juga ditambah pakan penguat berupa dedak halus yang dicampur
dengan sedikit garam. Dalam hal perawatan, kandang sapi dibersihkan setiap hari
atau minimal seminggu sekali. Sementara sistem intensif adalah sapi-sapi
dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak. Sapi diberikan pakan
sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat besar dan gemuk. Kotorannya pun
biasa terkumpul dalam satu tempat sehingga mudah dibersihkan dan dimanfaatkan
untuk keperluan lain (Haryanti, 2009).
Beberapa sifat yang tampak pada pola pengembangan
intensifikasi diantaranya sebagai berikut:
·
Tidak harus membutuhkan lahan produksi yang
luas.
·
Penerapan teknologi lebih modern
·
Membutuhkan modal yang cukup tinggi, tetapi
waktu pengembalian modal relarif lebih singkat
·
Tidak membutuhkan jangkauan pengawasan luas.
Namun membutuhkan intensitas pengawasan yang tinggi dan terus-menerus
·
Jumlah
produksi (output) relatif lebih tinggi
·
Lama waktu pembesaran relatif lebih singkat.
Untuk mendapatkan bibit sapi Bali yang baik sebaiknya
dipelihara secara semi intensif disertai dengan pemberian pakan yang optimal
sesuai dengan kebutuhan fisiologik ternak, yaitu dengan jalan memberikan pakan
tambahan berupa konsentrat dan tidak hanya mengandalkan rumput lapang sebagai
pakan basal. Dengan adanya penambahan konsentrat diharapkan akan meningkatkan
produksi asam propionat pada biokonversi pakan dalam rumen. Semakin tinggi asam
propionate maka precursor pembentukan glikogen semakin banyak sehingga dapat
meningkatkan laju pertambahan bobot badan. Selain itu, adanya suplementasi
konsentrat akan meningkatkan kecernaan bahan kering, organik dan energi
(Sariubang dan Tambing, 2000).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perlakuan
pemberian konsentrat pada pedet sapi Bali prasapih memberikan perbedaan yang
nyata terhadap pertambahan berat badan pedet dibandingkan dengan sapi Bali yang
dipelihara secara tradisional yang tanpa pemberian konsentrat.
B.
SARAN
Untuk lebih meningkatkan produktivitas ternak terutama pada
ternak sapi makan perlu perbaikan manajemen pakan melalui pemberian konsentrat
yang mengandung protein tinggi, diketahui dapat memberikan dampak positif
terhadap pertambahan bobot badan pedet sapi Bali prasapih.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima
. 2012. Pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan sapi
bali. Http://skripsi/a.Fauziahdjafar/fakultas/peternakan (I11107019). Html.
Diakses 20 Mei 2015.
b. 2012. Pengertian
bahan pakan ransum. Http://InfoPeternakan.Blogspot. Com/… /Pengertian-Pakan-Bahan-Pakan-Rans….
Diakses 20 Mei 2015.
c . 2012. Pakan
konsentrat ternak. Http://Pelajaranilmu.Blogspot.
Com/201206/Pakan-Konsentrat-Ternak. Html. Diakses 20 Mei 2015.
Anggorodi, R., 1984. Ilmu Makanan
Ternak Umum. Ed.ke-2. Gramedia, Jakarta.
Bandini, Y. 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya, PT. Jakarta.
Backins, W. W., J. W. Cole, C. B.
Ramsey and C. S. Hobbs. 1967. Minimum fatnesser efficient beef production. J.
Anim. Sci., 26 : 209 – 217.
Barker, J. S. F., D. J. Brett,
D.F.Frederick and L.J. Lambourse. 1974. A Course Manual in Tropical Beef Cattle
Production. 2nd Ed. Australian Vice Chancellors cemented printed and Bround by
Day Nippon Printing Co. (H.K) Ltd, Hongkong.
Cole, V. G., 1982. Beef Cattle
Production Guide. NSWUP Ed. Permata, New South Wales: Mac Arthur Press.
Chuzaemi, S., Hermanto, Soebarinoto,
H. Sudarwati. 1997. Evaluasi protein pakan ruminansia melalui pendekatan
sintesis protein mikrobial di dalam rumen. evaluasi kandungan rdp dan udp pada
beberapa jenis hijauan segar, limbah pertanian dan konsentrat. Jurnal
penelitian ilmu-ilmu hayati (life science) 9:77-89.
Cullison, A. E., R. S. Lowrey, &
T. W. Perry. 2003. Feeds and Feeding. 6th Ed. Pearson Education, Inc. Upper
Saddle River, New York.
Darmono. 1999. Tatalaksana Usaha Sapi
Kereman. Kanisius, Yogyakarta.
Depison dan Sumarsono, T., 2001.
Evaluasi hasil perkawinan induk sapi Bali dengan beberapa bangsa pejantan di Kecamatan
Rimbo Bujang Kabupaten Bunga Tebo. Jurnal ilmiah ilmu-ilmu peternakan. 4 (1):
29-35.
Gunawan, Pamungkas, D. Dan P.
Affandhy. 1999. Sapi Bali dan Potensi, Produktivitas dan Nilai Ekonomi.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Hamid, H., T. Purwandaria, T. Haryati
dan A.P. Sinurat. 1999. Perubahan nilai bilangan peroksida bungkil kelapa dalam
proses penyimpanan dan fermentasi. JITV 4(2): 102-106.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi
Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Haryanti,
N. W. 2009. Kualitas Pakan dan Kecukupan Nutrisi Sapi Simental di Peternakan
Mitra Tani Andini, Kelurahan Gunung Pati Kota Semarang. Fakultas Peternakan,
Universitas Diponegoro. Semarang.
Lubis. 1992. Ilmu Makanan Ternak.
Cetakan kedua. PT. Media Sejahtera, Jakarata.
Mariyono dan E. Romjali. 2007.
Petunjuk Teknis : Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi
Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pasuruan.
Marsetyo. 2006. Pengaruh penambahan
daun lamtoro atau bungkil kelapa terhadap konsumsi, kecernaan pakan dan
pertambahan bobot kambing betina lokal yang mendapatkan pakan dasar jerami
jagung. program studi nutrisi dan makanan ternak. Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako, Palu. J. protein 13(1):7.
National Research Council. 2001.
Nutrient Requirements of Dairy Cattle: 7th Ed Revised Edition National Academy
Press, Washington.
O’Mary, C.C and A.D. Irwin. 1972.
Commercial Beef Cattle. 4th Ed. Lea and Febiger, Philadelpia.
Pardede, S. I. dan S. Asmira, 1997.
Pengolahan Produk Sampingan Industri Pertanian Menjadi Permen Jilat Untuk Sapi
Potong Yang Dipelihara Secara Tradisional, Karya Tulis Ilmiah Bidang Studi
Peternakan, Universitas Andalas, Padang.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan dan
Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Hal 371-374.
Preston, T. R and M.B. Willis. 1974.
Intensive Beef Production. 2nd Ed. Pergamon Press, Oxford, New York, Toronto.
Sydney.
Putu, I.G., Dewyanto, P. Sitepu, T.D.
Soedjana, 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong.
Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 7-8 Januari 1997
hal. 50-63.
Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran
tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum
bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Roy, J. H. B. 1980. The Calf, Studies
in Agriculture and Food Science. 4th Ed. Butterworths, London.
Safitri, T. 2011. Penerapan good
breeding practices sapi potong di PT. Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sariubang, M. dan S. N. Tambing. 2000.
Analisis pola usaha pembibitan sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif dan
semi intensif. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Gowa.
Makassar.
Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak
Ruminansia. Edisi ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta.
F.
. 2008. Penggemukan Sapi. Edisi ke-3. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Soeharsono. 1983. Sebuah Pengamatan terhadap Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Hemera Zoa 71 (2). Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Wilayah VI, Denpasar.
Sudarmono A.S. 2008. Sapi potong, Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugeng, Y.B. 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudjana, M. A. 1997. Metode Statistik. Edisi ke-5. Penerbit Tarsito, Bandung.
Soeparno and H. L. Davies, 1987. Studies on the growth and carcas composition in the daldale wether lamb. i. the effect of dietary energy concentration and pasture spesies Australia. J. Agric. 66:21 - 47.
Soeharsono. 1983. Sebuah Pengamatan terhadap Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Hemera Zoa 71 (2). Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Wilayah VI, Denpasar.
Sudarmono A.S. 2008. Sapi potong, Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugeng, Y.B. 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudjana, M. A. 1997. Metode Statistik. Edisi ke-5. Penerbit Tarsito, Bandung.
Soeparno and H. L. Davies, 1987. Studies on the growth and carcas composition in the daldale wether lamb. i. the effect of dietary energy concentration and pasture spesies Australia. J. Agric. 66:21 - 47.
G.
Tangdilintin F.K. 2002. Faktor Nutrisi dalam reproduksi
Ternak. Makalah Kursus Singkat Penggunaan Teknologi RIA dan UMMB dalam Biologi
Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
H.
Thalib, A., Y. Widiawati dan B. Haryanto. 2007.
Penggunaan Rumen Modifier Komplit Pada Ternak Ruminansia yang Diberi Hijauan
pakan Berserat Tinggi. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian DIPA 2007. Balai
Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
I.
Tillman, A. D., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo,
H. Hartadi dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
J.
Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak.
Penerbit Angkasa .Bandung.
Tomaszewska, M., T.D. Chaniago dan I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to animal Production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor – Australia Project. Bogor.
Wello, B. 2011. Manajemen Ternak Sapi Potong. Cetakan pertama. Masagena Press. Makassar.
Tomaszewska, M., T.D. Chaniago dan I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to animal Production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor – Australia Project. Bogor.
Wello, B. 2011. Manajemen Ternak Sapi Potong. Cetakan pertama. Masagena Press. Makassar.
K.
. 2012. Produksi Ternak Potong dan Kerja. Cetakan
pertama. Masagena Press. Makassar.
L.
Williamson, G and W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan
di Daerah Tropis. Alih Bahasa : Djiwa Darmadja. UGM Press. Yogyakarta.
M.
Yudith Taringan A., 2010. Pemamfaatan Pelepah sawit dan
Hasil Ikutan Industri Kelapa Sawit terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Simental
Fase Pertumbuhan. Departemen Pendidikan Fakultas Sumatra Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar