Kamis, 25 Februari 2016

RANSUM FEED AND BABY BEEF



MAKALAH KELOMPOK
INDUSTRI PENGGEMUKAN SAPI/FEEDLOT




RANSUM FEED AND BABY BEEF


OLEH KELOMPOK II



ARDITIA
ARIF RAHMAN
INDRIANI
RAHMA NINGSI
YUSUF BUDI

















FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut kebijaksanaan pemerintah, sub sektor peternakan, sapi potong sebagai salah satu usaha perlu terus dikembangkan, terutama usaha peternakan sapi potong yang bersifat usaha keluarga. Bantuan pemerintah dalam mendukung pengembangan ternak sapi potong antara lain dalah bantuan dan fasilitas, seperti kredit penggemukan sapi, kredit pembibitan sapi potong, penerapan sistem kontrak lewat pengembangan sapi potong.
Dalam peternakan sapi potong, segala upaya dilakukan agar sapi yang dipelihara cepet mengalami kenaikan berat badan. Salah satu cara baru yang dapat diterapkan dalam upaya penggemukan sapi potong adalah dengan penggunaan pakan tambahan. Pakan tambahan berupa suatu bahan yang mengandung koloni mikrobe terpilihdan digunakan untuk mengaturkeseimbangan mikroorganisme di dalam rumen (alat pencernaan).
Permasalahan yang terjadi di tingkat peternak adalah produktivitas ternak potong rata-rata masih rendah. Hal ini disebabkan kualitas ransum, bibit dan tatalaksana pemeliharaan yang belum optimal. Salah satu upaya pemecahan masalah rendahnya pertambahan bobot badan harian adalah dengan meningkatkan kualitas ransum pada saat penggemukan. Peningkatan kualitas ransum terutama kandungan Protein Kasar (PK) dan Total Digestible Nutrients (TDN) diperlukan pada saat penggemukan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya proses metabolisme tubuh untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertambahan bobot badannya. Hal inilah yang melatarbelakangi dibuatnya makalah mengenai Ransum Feed And Baby Beef.
B.     Tujuan Penulisan Makalah
            Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu diharapkan dalam penulisan makalah ini mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang bagaimna ransum yang baik bagi sapi pedet dan bagaimana cara pemberiannya
C.    Permasalahan
1.      Apa itu ransum?
2.      Apa itu ransum seimbang?
3.      Bagaimana pemberian ransum pada sapi pedet
























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian Ransum
Ransum (pakan) merupakan campuran dari dua atau lebih bahan pakan yang diberikan untuk seekor ternak selama sehari semalam. Ransum harus dapat memenuhi kebutuhan zat nutrien yang diperlukan ternak untuk berbagai fungsi tubuhnya, yaitu untuk hidup pokok, produksi maupun reproduksi Pada umumnya ransum untuk ternak ruminansia terdiri dari pakan hijauan dan pakan konsentrat. Pakan pokok (basal) dapat berupa rumput, legum, perdu, pohon–pohonan serta tanaman sisa panen, sedangkan pakan konsentrat antara lain berupa biji-bijian, bungkil, bekatul dan tepung ikan.
Ransum seimbang merupakan ransum yang diberikan selama 24 jam yang mengandung semua zat nutrien (jumlah dan macam nutriennya) dan perbandingan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak (Chuzaemi, 2002).
Pengetahuan tentang kualifikasi bahan pakan diperlukan untuk menyusun ransum seimbang. Penyusunan ransum seimbang yang sesuai dengan kebutuhan ternak, diharapakan akan dapat menghasilkan produksi yang optimal.
B.     Bahan Pakan Ternak
Nutrien yang dikonsumsi pedet dibutuhkan untuk hidup pokok dan pertambahan bobot badan dalam bentuk deposit protein dan mineral. Kebutuhan nutrien pedet antara lain bergantung kepada umur, bobot badan dan pertambahan bobot badan (NRC, 2001).
Kebutuhan hidup pokok yaitu kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Jika sapi memperoleh pakan lebih dari kebutuhan hidup pokok, sebagian kelebihan nutrien tersebut akan diubah menjadi bentuk produksi, misalnya pertumbuhan atau kenaikan bobot badan, produksi susu atau produksi tenaga (Parakkasi, 1999).
Tingkat pertambahan bobot badan maksimum yang dapat diraih ditentukan oleh tingkat konsumsi energi (Roy, 1980). Menurut Cullison et al. (2003), fungsi nutrien bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh, mengatur berbagai fungsi, proses dan aktivitas dalam tubuh.
Menurut Siregar (1994) bahan pakan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu konsentrat dan bahan berserat. Konsentrat berupa bijian dan butiran sedang bahan berserat yaitu jerami dan rumput yang merupakan komponen penyusun ransum. Pakan adalah bahan yang dimakan dan dicerna oleh seekor hewan yang mampu menyajikan hara atau nutrien yang penting untuk perawatan tubuh, pertumbuhan, penggemukan, dan reproduksi.
Bahan pakan yang baik adalah bahan pakan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta tidak mengandung racun yang dapat membahayakan ternak yang mengkonsumsinya (Darmono, 1999).
1.      Pakan Hijauan
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting dan bunga (Sugeng, 1998). Menurut Lubis (1992) pemberian pakan pada ternak sebaiknya diberikan dalam keadaan segar. Pemberian pakan yang baik diberikan dengan perbandingan hijauan dengan konsentrat 60 : 40, apabila hijauan yang diberikan berkualitas rendah perbandingan hijauan dengan konsentrat dapat menjadi 55 : 45 dan hijauan yang diberikan berkualitas sedang sampai tinggi perbandingan itu dapat menjadi 64 : 36 (Siregar, 1994).
Seiring dengan bertambahnya konsumsi pakan padat seperti rumput dan calf starter (ransum pemula) maka papille rumen akan berkembang yang diiringi dengan pertumbuhan mikroorganisme rumen (Rakhmanto, 2009). Jumlah mikroorganisme akan stabil jika pH rumen mendekati pH netral yang dicapai pada umur sekitar delapan minggu (Roy, 1980).
Jumlah bahan kering yang dapat dikonsumsi pada pakan cair lebih banyak dibandingkan dengan pakan padat sampai anak sapi mempunyai berat hidup 70 kg dikarenakan energi dari susu dapat tercerna lebih efisien oleh pencernaan monogastrik dibanding dengan pencernaan pakan padat pada ruminan (Roy, 1980). Sapi akan mengkonsumsi bahan kering berkisar antara 1,4-2,7% dari bobot badannya (NRC, 2001).Banyaknya hijauan segar yang diberikan dalam jumlah cukup untuk pertumbuhan, adalah 10% dari berat badannya (Bandini, 1997).
2. Konsentrat
Pakan penguat (konsentrat) adalah pakan yang mengandung serat kasar relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi bahan pakan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, dan berbagai umbi. Fungsi pakan penguat adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah (Sugeng, 1998).
Pemberian konsentrat pada pedet harus dilakukan secara bertahap. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan kemampuan rumen yang belum berkembang dan kebiasaan pedet yang lebih menyukai pakan cair. Pakan padat yang diberikan pada awal pertumbuhan pedet dikenal dengan calf starter. Pakan penguat diberikan sebanyak 1 % dari berat badan (Bandini, 1997). Ransum pemula yang diberikan biasanya berupa campuran dari berbagai jenis bahan pakan berenergi dan protein tinggi (Parakkasi, 1999).
Konsentrat dapat merupakan sumber protein maupun sumber energi. Konsentrat sumber energi adalah bahan pakan yang mengandung protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18%. Pemberian konsentrat yang terlampau banyak akan meningkatkan konsentrasi energi ransum dan dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi berkurang (Parakkasi, 1999).
Konsentrat pedet ini harus dibarengi dengan tersedianya air untuk menjamin perkembangan rumen. Pemberian dilakukan sedikit demi sedikit. Pakan berserat diberikan sampai pedet berumur delapan minggu. Pemberian air sangat diperlukan dan selalu ada untuk menjamin perkembangan pedet. Menurut hasil penelitian, pedet yang tidak diberi minum akan menurunkan 31% konsumsi konsentrat dan menurunkan bobot badan sampai 38% dibandingkan dengan pedet yang diberi cukup air.
Konsumsi air yang masuk ke dalam rumen akan merangsang pertumbuhan rumen (Parakkasi, 1999). Konsumsi calf starter oleh pedet di usia dini sangat penting untuk pengembangan organ pencernaan yang berfungsi untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Ransum starter yang dikonsumsi sejak lepas kolostrum dapat mempercepat periode penyapihan. Penyapihan pada pedet dapat dilakukan saat konsumsi ransum calf starter mencapai 0,5-0,6 kg/ekor/hari (Parakkasi, 1999).
Konsentrat biasanya tersusun dari berbagai bahan pakan biji-bijian dan hasil ikutan dari pengolahan hasil pertanian maupun industri. Pemberian konsentrat dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan sapi. Namun, pemberian pakan penguat berupa konsentrat harus memperhitungkan nilai ekonomisnya. Pemberian konsentrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerugian bila tidak diiringi peningkatan pertumbuhan atau produksi yang sesuai (Parakkasi, 1999).
Jika ransum yang seluruhnya terdiri dari makanan penguat atau hijauan hanya sedikit, maka efisiensi penggunaan makanan diperbaiki tetapi harus diberi sumber energi yang tinggi dimana pertambahan berat badan tidak dipengaruhi dan jika hijauan dalam ransum dihilangkan maka sangat berbahaya karena ransum tidak mengandung serat kasar yang tinggi, minimal 10% hijauan harus ada dalam ransum untuk menghindari gangguan pencernaan (Wello, 2012).
Menurut Lubis (1992) sumber-sumber bahan konsentrat berasal dari:
·         Konsentrat yang berasal dari tanaman
Konsentrat ini meliputi makanan yang mengandung tenaga yang tinggi dan protein tinggi. Kelompok terbanyak adalah biji-bijian beras, jagung, sorghum dan “millet”. Scalar energi (SE) dan total digestible nutrient (TDN) yang tinggi, kandungan potein kasar menengah dan serat kasar yang rendah, kandungan mineral bervariasi. Konsentrat ini meliputi kacang giling, kedelai, wijen, biji palm, biji kapas, biji karet dan kelapa dan mempunyai kandungan SE dan TDN yang tinggi dan kandungan protein kasar/crude protein (CP) antara 15-45 %.
·         Konsentrat yang berasal dari hewan
Konsentrat ini terdiri dari tepung daging, tepung tulang dan daging, tepung darah, hasil samping pengolahan ikan seperti tepung ikan dan ikan kecil, hasil sampingan pengolahan susu seperti bubuk susu skim, “whey” dan lemak susu. Bahan-bahan ini ditandai dengan protein kualitas tinggi yang relatif banyak jumlah yang dikandungnya dan kandungan mineral yang tinggi.
Kandungan gizi konsentrat dibagi dua golongan yaitu:
a)      Konsentrat sebagai sumber protein, apabila kandungan protein lebih dari 18%, Total Digestible Nutrision (TDN) 60%. Ada konsentrat yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Berasal dari hewan mengandung protein lebih dari 47%. Mineral Ca lebih dari 1% dan P lebih dari 1,5% serta kandungan serat kasar dibawah 2,5%. Contohnya : tepung ikan, tepung susu, tepung daging, tepung darah, tepung bulu dan tepung cacing. Berasal dari tumbuhan, kandungan proteinnya dibawah 47%, mineral Ca dibawah 1% dan P dibawah 1,5% serat kasar lebih dari 2,5%. Contohnya : tepung kedelai, tepung biji kapuk, tepung bunga matahari, bungkil wijen, bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit dll.
b)      Konsentrat sebagai sumber energi, apabila kandungan protein dibawah 18%, TDN 60% dan serat kasarnya lebih dari 10%. Contohnya : dedak, jagung, empok, polar dll (Anonimb, 2012).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pakan penguat adalah sebagai berikut:
ü  Ketersediaan harga satuan bahan pakan mudah diperoleh di suatu daerah, dengan harga bervariasi, sedang di beberapa daerah lain sulit didapat. Harga per unit bahan pakan sangat berbeda antara satu daerah dan daerah lain, sehingga keseragaman harga per unit nutrisi (bukan harga per unit berat) perlu dihitung terlebih dahulu.
ü  Standar kualitas pakan penguat dinyatakan dengan nilai nutrisi yang dikandungnya terutama kandungan energi dan potein. Sebagai pedoman, setiap kilogram pakan penguat harus mengandung minimal 2500 Kcal energi, 17% protein, dan serat kasar 12%.
ü  Metode dan teknik pembuatan untuk pakan penguat adalah metode simultan, metode segiempat bertingkat, metode aljabar, metode konstan kontrol, metode ekuasi atau metode grafik (Anonimc, 2012).
Berikut adalah bahan pakan yang ditambahkan dalam konsentrat:
• Dedak Padi
Dedak padi adalah bahan pakan yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan dari penumbukan padi. Dedak merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tidak tebal, tetapi tercampur dengan penutup beras. Hal ini mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak (Parakkasi, 1999). Dedak Kasar adalah kulit gabah halus yang bercampur dengan sedikit pecahan lembaga beras dan daya cernanya relatif rendah. Sebenarnya dedak kasar ini sudah tidak termasuk sebagai bahan makanan penguat (konsentrat) sebab kandungan serat kasarnya relatif terlalu tinggi (35.3%) (Yudith, 2010).
Dedak halus biasa ini banyak mengandung komponen kulit gabah, juga selaput perak dan pecahan lembaga beras. Kadar serat kasarnya masih cukup tinggi akan tetapi sudah termasuk dalam golongan konsentrat karena kadar serat kasar dibawah 18%. Martabat pati nya termasuk rendah dan hanya sebagian kecil saja yang dapat dicerna (Yudith, 2010).
·         Ampas Tahu
Ampas tahu adalah ampas yang diperoleh dari pembuatan tahu yang diberikan kepada ternak besar dan kecil. Biasanya pemberianya dicampur dengan bekatul diberi air dan lebih baik lagi jika dicampur dengan ketela yang telah dicacah maka pertambahan atau pertumbuhan akan lebih optimal. Ampas tahu dalam keadaan segar mengandung lebih dari 80% air. Pemanfaatan ampas tahu sangat efektif apalagi pada sapi potong pertambahan berat badan akan lebih cepat. Selain pertumbuhan lebih cepet karkasnya bisa mencapai 60% dari berat sapi hidup (Siregar, 1994).
            Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar atau kering. Mutu standar bungkil kelapa meliputi kandungan nutrisi dan batas tolerasi aflatoxin (Chuzaemi dkk, 1997). Bungkil kelapa banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi (Hamid dkk, 1999). Protein kasar yang terkandung pada bungkil kelapa mencapai 23%, dan kandungan seratnya yang mudah dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan sumber energi yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti sebagai bahan pakan pedet terutama untuk menstimulasi rumen dan pakan asal bungkil kelapa juga terbukti ternak dapat menghasilkan susu yang lebih kental dan rasa yang enak (Mariyono dan Romjali, 2007). Penambahan bungkil kelapa dapat meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan pertambahan bobot badan harian. Ternak ruminansia yang mendapatkan pakan berkualitas rendah sebaiknya diberikan pakan tambahan yang kaya akan nitrogen untuk merangsang pertumbuhan dan aktivitas mikroba di dalam rumen (Marsetyo, 2006).
            Garam
Garam yang dimaksud disini adalah garam dapur (NaCl), dimana selain berfungsi sebagai mineral juga berfungsi meningkatkan palatabilitas (Pardede dan Asmira, 1997). Na dan Cl untuk memenuhi kebutuhan produksi optimum. Hampir semua bahan makanan nabati (khususnya hijauan tropis) mengandung Na dan Cl relatif lebih kecil dibanding bahan makanan hewani (Parakkasi, 1999).
            Tetes tebu (Molasses)
Molasses dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molasses untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48-60% sebagai gula), kadar mineral cukup dan disukai ternak. Tetes tebu juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti kobalt, boron, yodium, tembaga, dan seng, sedangkan kelemahannya ialah kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak (Thalib, 2007).
C.    Pengaruh Pemberian Pakan Berprotein Tinggi
Pakan adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan oleh hewan. Bahan pakan terdiri dari tanaman, hasil tanaman, dan kadang-kadang berasal dari ternak serta hewan yang hidup di laut (Tillman dkk, 1991).
Protein berfungsi untuk memperbaiki dan menggantikan sel tubuh yang rusak, (misalnya pada sapi lanjut usia), pembentukan se-sel baru dari tubuhnya (misalnya pada pedet), berproduksi (misalnya pada sapi dewasa) dan diubah menjadi energi (misalnya pada sapi kerja). Protein lebih banyak dibutuhkan oleh sapi muda yang sedang tumbuh dibandingkan sapi dewasa karena unsur protein tidak dapat dibentuk dalam tubuh, padahal sangat mutlak diperlukan, oleh karena itu sapi harus diberi pakan yang cukup mengandung protein. Protein sangat penting bagi tubuh hewan. Apabila dalam bahan pakan protein tidak memenuhi kebutuhan hidup ternak maka tubuh tidak akan membentuk jaringan-jaringan yang harus digantikan, akibatnya pertumbuhan akan terganggu. Sapi yang baru lahir membutuhkan protein untuk pertumbuhan sedangkan sapi dewasa protein berfungsi sebagai pengganti jaringan yang telah rusak dan untuk produksi. Protein yang ada dalam tubuh ternak sapi potong dapat diubah menjadi energi jika diperlukan. Oleh karena itu, jumlah protein dalam tubuh sapi akan selalu berkurang. Kebutuhan protein biasanya dinyatakan dalam “Presentase Protein Total” dan “Protein dapat dicerna dalam ransum”. Sebagai contoh, pada ransum berserat kasar tinggi, kandungan protein dapat dicerna sikitar 60% dari protein total sedangkan pada ransum konsentrat tinggi kandungan protein yang dapat dicerna sekitar 70% (Sudarmono, 2008).
Kandungan protein dalam ransum tergantung pada jumlah yang diperlukan untuk pokok hidup (diperkirakan sekitar 0,88 gram per berat metabolik, yaitu berat badan sesungguhnya dipangkatkan 0,75), pertumbuhan dan fermentasi rumen. Kekurangan protein dalam ransum akan mengakibatkan pertumbuhan terganggu, namun pemberian yang berlebihan justru akan mengakibatkan meningkatnya ongkos produksi. Walaupun sapi dapat mengubah protein berkualitas rendah menjadi berkualitas tinggi dengan adanya mikroorganisme yang terdapat dalam rumen. Untuk memacu produktifitas sebaiknya pada sapi potong diberikan protein berkualitas tinggi dan tidak terdegradasi di dalam rumen (Siregar, 1994).
Pada pemberian protein secara feedlot, maka faktor-faktor di bawah ini perlu diperhatikan (Wello, 2012):
·         Pemberian level protein secara minimal, cukup untuk kesehatan dan pertumbuhan yang normal.
·         Jumlah protein yang dibutuhkan oleh sapi untuk pertumbuhan yang maksimal.
·         Pengaruh variasi protein antara level yang rendah dengan batas level yang tinggi terhadap pertambahan berat badan.
Menurut Wello (2012) metode yang paling banyak digunakan orang untuk menentukan kebutuhan protein adalah:
·         Persentase protein dalam bahan kering makanan.
·         Perbandingan protein dengan energy
·         Imbangan protein (protein dapat dicerna: martabat pati)
Ransum yang mengandung hijauan yang tinggi, apabila metabolism energy (ME) meningkat baik yang disebabkan oleh penambahan makanan penguat, menyebabkan naiknya konsumsi bahan kering. Sebaliknya, jika ransum dengan energi tinggi dengan hanya sedikit atau tanpa hijauan akan menyebabkan konsumsi bahan kering turun, begitu pula konsumsi ME. Jadi kenaikan ME yang disebabkan oleh karena penambahan makanan penguat ke dalam ransum yang hijauannnya tinggi menyebabkan pertambahan berat badan yang lebih tinggi disebabkan oleh karena naiknya konsumsi bahan kering, dimana konsumsi protein lebih banyak. Sebaliknya jika kenaikan konsumsi ME disebabkan karena konsumsi ransum yang energinya tinggi (sebagian besar terdiri dari makanan penguat) tanpa merubah perbandingan protein dan energi dalam ransum, dapat menyebabkan konsumsi protein berkurang (Wello, 2012).
Ada 3 variasi dalam dasar penentuan kebutuhan protein yaitu:
·         Berdasarkan berat badan hewan
·         Berdasarkan pertambahan berat badan harian
·         Berdasarkan protein dapat dicerna
·         Jika perbandingan ransum dengan makanan penguat dan hijauan 25% : 75% maka pertambahan berat badan naik sangat nyata dengan kadar protein 11 – 12% (Wello, 2012).
D.    Pertumbuhan Pedet Prasapih
Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak, jantung dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak), serta alat-alat tubuh lainnya. Lebih lanjut dikatakan pertumbuhan murni adalah penambahan dalam jumlah protein dan zat-zat mineral, sedangkan pertambahan akibat penimbunan air bukanlah pertumbuhan murni (Anggorodi, 1984).
Sebagai bagian pertama kehidupan, pedet memiliki perut sederhana, sama seperti ternak monogastrik. Saat lahir komponen perut yang belum berkembang dan belum mampu melaksanakan pencernaan pakan. Saat pedet mulai makan konsentrat (biasanya merupakan campuran antara biji-biian, sumber protein, mineral dan vitamin) dan air minum, saat itulah rumen mulai berkembang. Pakan pedet dapat dimulai sejak pedet berumut 4 hari dan pakan harus diformulasi sehingga disukai dan memiliki kandungan protein, mineral dan vitamin. Bobot lahir pedet dipengaruhi oleh jenis kelamin, bangsa dan keturunan. Pedet yang baru lahir memiliki perut yang terbagi menjadi empat, sama seperti sapi dewasa tetapi hanya abomasum yang berfungsi. Abomasum memiliki kapasitas dua kali lebih besar dari pada bagian perut yang lain. Rumen berfungsi baik setelah pedet berumur dua bulan atau jika pedet telah makan pakan padat atau kering (Roy, 1980).
Periode kritis pemeliharaan pedet adalah saat penyapihan (penghentian pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun induk lain). Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1) dengan melihat umur dari pedet tersebut, 2) dengan melihat bobot badan yang telah dicapai oleh pedet, dan 3) dengan melihat banyaknya konsumsi bahan kering (BK) dari ransum starter (Parakkasi, 1999).
Kematian merupakan jumlah ternak yang mati tiap periode waktu dibagi dengan jumlah ternak yang hidup di awal periode waktu tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian antara lain faktor fisiologi, anatomis, pakan, penyakit (Anonima, 2012). Mortalitas (kematian) anak sapi lebih banyak pada induk yang lebih muda. Dari hasil penelitian diketehui bahwa kematian anak sapi dan induk yang berumur 3, 4 dan 5 tahun, masing-masing adalah 9,5, 4,3, dan 2,4%. Pedet jantan lebih banyak yang mati dan mengalami kesukaran partus dari pada pedet betina. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa anak sapi jantan yang mati pada waktu lahir adalah 62%, sedangkan pada anak sapi betina yang mati dari lahir sampai disapih hanya 52%. Data yang lain menunjukkan bahwa anak sapi jantan yang mati rata-rata 34,4% sedang pada anak sapi betina rata-rata 26,5%. Makanan sangat mempengaruhi kemampuan hidup anak-anak sapi. Penyapihan yang dilakukan setelah hampir melahirkan menyebabkan berat lahir anaknya lebih rendah. Persentase induk yang membutuhkan pertolongan pada waktu melahirkan sangat tinggi (Wello, 2011).
Kematian per tahun sapi Bali jantan dan betina umur 3 tahun atau lebih adalah 0,5%. Angka yang sama ditunjukkan oleh kematian pada umur 1-2 tahun. Pada umur kurang dari 1 tahun kematiannya 4,7%. Penyebab kematian dibawah umur satu tahun adalah 91% pada umur kurang dari 6 bulan, 65% umur kurang dari 3 bulan dan 40% kurang dari 1 bulan (Soeharsono dkk, 1983).
E.     Sistem Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif, ekstensif, dan mixed farming system (sistem pertanian campuran). Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan secara terus-menerus dan (b) sapi di kandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and curry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif. Kelemahan terletak pada modal yang dipergunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakan (Safitri, 2011).
Pada sistem pemeliharaan semi intensif, umumnya ternak dipelihara dengan cara sapi-sapi ditambatkan atau digembalakan di ladang, kebun, atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur pada siang hari. Sore harinya, sapi tersebut dimasukkan ke dalam kandang sederhana dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Pada malam hari, sapi diberi pakan tambahan berupa hijauan. Dapat juga ditambah pakan penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam. Dalam hal perawatan, kandang sapi dibersihkan setiap hari atau minimal seminggu sekali. Sementara sistem intensif adalah sapi-sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak. Sapi diberikan pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat besar dan gemuk. Kotorannya pun biasa terkumpul dalam satu tempat sehingga mudah dibersihkan dan dimanfaatkan untuk keperluan lain (Haryanti, 2009).
Beberapa sifat yang tampak pada pola pengembangan intensifikasi diantaranya sebagai berikut:
·         Tidak harus membutuhkan lahan produksi yang luas.
·         Penerapan teknologi lebih modern
·         Membutuhkan modal yang cukup tinggi, tetapi waktu pengembalian modal relarif lebih singkat
·         Tidak membutuhkan jangkauan pengawasan luas. Namun membutuhkan intensitas pengawasan yang tinggi dan terus-menerus
·          Jumlah produksi (output) relatif lebih tinggi
·         Lama waktu pembesaran relatif lebih singkat.
Untuk mendapatkan bibit sapi Bali yang baik sebaiknya dipelihara secara semi intensif disertai dengan pemberian pakan yang optimal sesuai dengan kebutuhan fisiologik ternak, yaitu dengan jalan memberikan pakan tambahan berupa konsentrat dan tidak hanya mengandalkan rumput lapang sebagai pakan basal. Dengan adanya penambahan konsentrat diharapkan akan meningkatkan produksi asam propionat pada biokonversi pakan dalam rumen. Semakin tinggi asam propionate maka precursor pembentukan glikogen semakin banyak sehingga dapat meningkatkan laju pertambahan bobot badan. Selain itu, adanya suplementasi konsentrat akan meningkatkan kecernaan bahan kering, organik dan energi (Sariubang dan Tambing, 2000).
































BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian konsentrat pada pedet sapi Bali prasapih memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan berat badan pedet dibandingkan dengan sapi Bali yang dipelihara secara tradisional yang tanpa pemberian konsentrat.
B.     SARAN
Untuk lebih meningkatkan produktivitas ternak terutama pada ternak sapi makan perlu perbaikan manajemen pakan melalui pemberian konsentrat yang mengandung protein tinggi, diketahui dapat memberikan dampak positif terhadap pertambahan bobot badan pedet sapi Bali prasapih.
























DAFTAR PUSTAKA
Anonima . 2012. Pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan sapi bali. Http://skripsi/a.Fauziahdjafar/fakultas/peternakan (I11107019). Html. Diakses 20 Mei 2015.

             b. 2012. Pengertian bahan pakan ransum. Http://InfoPeternakan.Blogspot. Com/… /Pengertian-Pakan-Bahan-Pakan-Rans…. Diakses 20 Mei 2015.

             c . 2012. Pakan konsentrat ternak. Http://Pelajaranilmu.Blogspot. Com/201206/Pakan-Konsentrat-Ternak. Html.  Diakses 20 Mei 2015.

Anggorodi, R., 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. Ed.ke-2. Gramedia, Jakarta.

Bandini, Y. 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya, PT. Jakarta.

Backins, W. W., J. W. Cole, C. B. Ramsey and C. S. Hobbs. 1967. Minimum fatnesser efficient beef production. J. Anim. Sci., 26 : 209 – 217.
Barker, J. S. F., D. J. Brett, D.F.Frederick and L.J. Lambourse. 1974. A Course Manual in Tropical Beef Cattle Production. 2nd Ed. Australian Vice Chancellors cemented printed and Bround by Day Nippon Printing Co. (H.K) Ltd, Hongkong.
Cole, V. G., 1982. Beef Cattle Production Guide. NSWUP Ed. Permata, New South Wales: Mac Arthur Press.
Chuzaemi, S., Hermanto, Soebarinoto, H. Sudarwati. 1997. Evaluasi protein pakan ruminansia melalui pendekatan sintesis protein mikrobial di dalam rumen. evaluasi kandungan rdp dan udp pada beberapa jenis hijauan segar, limbah pertanian dan konsentrat. Jurnal penelitian ilmu-ilmu hayati (life science) 9:77-89.
Cullison, A. E., R. S. Lowrey, & T. W. Perry. 2003. Feeds and Feeding. 6th Ed. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New York.
Darmono. 1999. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius, Yogyakarta.
Depison dan Sumarsono, T., 2001. Evaluasi hasil perkawinan induk sapi Bali dengan beberapa bangsa pejantan di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Bunga Tebo. Jurnal ilmiah ilmu-ilmu peternakan. 4 (1): 29-35.
Gunawan, Pamungkas, D. Dan P. Affandhy. 1999. Sapi Bali dan Potensi, Produktivitas dan Nilai Ekonomi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Hamid, H., T. Purwandaria, T. Haryati dan A.P. Sinurat. 1999. Perubahan nilai bilangan peroksida bungkil kelapa dalam proses penyimpanan dan fermentasi. JITV 4(2): 102-106.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Haryanti, N. W. 2009. Kualitas Pakan dan Kecukupan Nutrisi Sapi Simental di Peternakan Mitra Tani Andini, Kelurahan Gunung Pati Kota Semarang. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.
Lubis. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan kedua. PT. Media Sejahtera, Jakarata.
Mariyono dan E. Romjali. 2007. Petunjuk Teknis : Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pasuruan.
Marsetyo. 2006. Pengaruh penambahan daun lamtoro atau bungkil kelapa terhadap konsumsi, kecernaan pakan dan pertambahan bobot kambing betina lokal yang mendapatkan pakan dasar jerami jagung. program studi nutrisi dan makanan ternak. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. J. protein 13(1):7.
National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle: 7th Ed Revised Edition National Academy Press, Washington.
O’Mary, C.C and A.D. Irwin. 1972. Commercial Beef Cattle. 4th Ed. Lea and Febiger, Philadelpia.
Pardede, S. I. dan S. Asmira, 1997. Pengolahan Produk Sampingan Industri Pertanian Menjadi Permen Jilat Untuk Sapi Potong Yang Dipelihara Secara Tradisional, Karya Tulis Ilmiah Bidang Studi Peternakan, Universitas Andalas, Padang.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Hal 371-374.
Preston, T. R and M.B. Willis. 1974. Intensive Beef Production. 2nd Ed. Pergamon Press, Oxford, New York, Toronto. Sydney.
Putu, I.G., Dewyanto, P. Sitepu, T.D. Soedjana, 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong. Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 7-8 Januari 1997 hal. 50-63.
Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Roy, J. H. B. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. 4th Ed. Butterworths, London.
Safitri, T. 2011. Penerapan good breeding practices sapi potong di PT. Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sariubang, M. dan S. N. Tambing. 2000. Analisis pola usaha pembibitan sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif dan semi intensif. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Gowa. Makassar.
Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Edisi ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta.
F.      . 2008. Penggemukan Sapi. Edisi ke-3. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soeharsono. 1983. Sebuah Pengamatan terhadap Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Hemera Zoa 71 (2). Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Wilayah VI, Denpasar.
Sudarmono A.S. 2008. Sapi potong, Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugeng, Y.B. 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudjana, M. A. 1997. Metode Statistik. Edisi ke-5. Penerbit Tarsito, Bandung.
Soeparno and H. L. Davies, 1987. Studies on the growth and carcas composition in the daldale wether lamb. i. the effect of dietary energy concentration and pasture spesies Australia. J. Agric. 66:21 - 47.
G.    Tangdilintin F.K. 2002. Faktor Nutrisi dalam reproduksi Ternak. Makalah Kursus Singkat Penggunaan Teknologi RIA dan UMMB dalam Biologi Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
H.    Thalib, A., Y. Widiawati dan B. Haryanto. 2007. Penggunaan Rumen Modifier Komplit Pada Ternak Ruminansia yang Diberi Hijauan pakan Berserat Tinggi. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian DIPA 2007. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
I.       Tillman, A. D., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, H. Hartadi dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6 Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
J.       Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa .Bandung.
Tomaszewska, M., T.D. Chaniago dan I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to animal Production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor – Australia Project. Bogor.
Wello, B. 2011. Manajemen Ternak Sapi Potong. Cetakan pertama. Masagena Press. Makassar.
K.    . 2012. Produksi Ternak Potong dan Kerja. Cetakan pertama. Masagena Press. Makassar.
L.     Williamson, G and W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Alih Bahasa : Djiwa Darmadja. UGM Press. Yogyakarta.
M.   Yudith Taringan A., 2010. Pemamfaatan Pelepah sawit dan Hasil Ikutan Industri Kelapa Sawit terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Simental Fase Pertumbuhan. Departemen Pendidikan Fakultas Sumatra Utara.

Tidak ada komentar: