PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan sektor di Indonesia sekarang
ini diarahkan tidak hanya terkait dengan pemenuhan pangan namun juga berkaitan
dengan kesehatan dan lingkungan. Intensifikasi usaha peternakan telah mencapai
efisiensi produksi tetapi juga perlu melihat isu lingkungan, yang menjadi
perhatian baik di negara maju dan berkembang. Dampak dari sektor ini pada
pencemaran lingkungan (amonia, gas rumah kaca dan patogen), mengevaluasi risiko
kesehatan terkait dan menilai potensi peranan sistem pengolahan limbah dalam
pelemahan isu-isu lingkungan dan kesehatan (Martinez, et all., dalam Kasworo,
dkk. 2009).
Sapi pedaging merupakan
salah satu ternak yang secara nasional telah ditetapkan sebagai komoditas
unggulan terutama dalam memproduksi daging. Selain itu, keuntungan lain yang
diperoleh adalah hasil sampingan dari pemeliharaan sapi berupa kotoran. Sapi
pedaging cukup menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan daging sebagai sumber
protein hewani dan hasil kotoran sapi pedaging yang dapat dimaanfaatkan sebagai
pupuk organik berkualitas tinggi. Penggunaan pupuk kimia dalam pertanian modern
saat ini mulai dikurangi bahkan sebaiknya dihilangkan dan diganti dengan pupuk
organik. Pengurangan dan penghilangan pupuk kimia karena cenderung merusak ekosistem
dan menyebabkan rusaknya struktur tanah. Bagi usaha pertanian, tanah mempunyai
arti yang penting selain iklim dan air. Keadaaan tanah yang baik dimana tata
air, udara dan unsur hara dalam keadaan cukup, seimbang dan tersedia sesuai
kebutuhan tanaman. Penggunaaan pupuk merupakan suatu kebutuhan bagi tanaman
untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dan menjaga keseimbangan hara yang tersedia
selama siklus pertumbuhan tanaman (Permana, 2011).
Budiayanto (2011), mengemukakan
bahwa kotoran sapi merupakan salah satu bahan potensial untuk membuat pupuk
organik. Kebutuhan pupuk organik akan meningkat seiring dengan permintaan akan
produk organik. Usaha peternakan ke depan harus dapat dibangun secara
berkesinambungan sehingga dapat memberikan kontribusi pendapatan yang besar dan
berkelanjutan. Penerapan teknologi budidaya ternak yang ramah lingkungan dapat
dilakukan melalui pemanfaatan limbah pertanian yang diperkaya nutrisinya serta
pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk organik cair dan biogas dapat meningkatkan
produktivitas ternak, peternak dan perbaikan lingkungan. Hal inilah yang
melatarbelakangi dilaksanakannya praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa
Hasil Ternak mengenai Pembuatan Pupuk Cair Feses Sapi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan maka masalah yang dapat dirumuskan yaitu:
1.
Bagaimana proses pembuatan pupuk cair
feses sapi?
2.
Bagaimana pengaruh lama penyimpanan
terhadap warna pupuk cair?
3.
Bagaimana pengaruh lama penyimpanan
terhadap bau pupuk cair?
C. Tujuan dan
Kegunaan
Tujuan praktikum
pembuatan pupuk cair feses sapi adalah untuk mengetahui dan memahami prosedur
dalam pembuatan pupuk cair dari feses sapi dengan baik dan benar serta melihat
parameter warna dan bau selama masa penyimpanan.
Kegunaan dari praktikum pembuatan pupuk
cair yaitu agar dapat mengetahui proses pembuatan pupuk cair yang baik, serta
mengetahui manfaat penggunaan pupuk organik cair.
METODELOGI
PRAKTIKUM
A.
Waktu
dan Tempat
Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil
ternak mengenai Pembuatan Pupuk Organik Cair dilaksanakan pada hari jumat, 8 mei 2015 pukul 08.00 WITA sampai hari minggu, 17 Mei
2015 yang bertempat di
Laboratorium Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil Ternak,
Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
B.
Materi
Praktikum
Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan
Sisa Hasil Ternak mengenai pembuatan pupuk cair feses sapi menggunakan
alat-alat yaitu toples besar, ember, saringan, kayu (sebagai
pengaduk) timbangan, sendok, gelas ukur.
Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan
Sisa Hasil Ternak mengenai pembuatan pupuk cair feses sapi menggunakan
bahan-bahan yaitu 4 kg feses sapi dengan kadar air 70%, 1 kg daun gamal, 250 gr
gula pasir, 10 liter air.
C.
Metode
Praktikum
Bahan I
Mula-mula memisahkan daun gamal dengan
tangkainya sebanyak 1 kg, menambahkan air sebanyak 2 liter, meremas-remas daun
gamal hingga air berubah warna menjadi hijau, setelah itu menyaring ekstrak
daun gamal.
Bahan II
Mula-mula menimbang feses sebanyak 4 kg,
kemudian menambahkan air hingga 8 liter, mengaduk-aduk hingga campuran feses
dan air homogen, menyaring hingga beberapa kali hingga tidak ada lagi gumpalan
feses.
Bahan
I (ekstrak daun gamal) dan bahan II (feses sapi) disatukan pada pada ember,
menambahkan gula sebanyak 250 gr, mengaduk-aduk hingga campuran homogen,
menyaring kembali, memindahkan kedalam toples yang berukuran besar dan
menutupnya rapat-rapat dalam keadaan anaerob. Menyimpannya hingga 9 hari.
Pengamatan dilakukan pada hari ke 3, ke 6 dan ke 9.
D.
Uji
Organoleptik
Uji organoleptik merupakan teknik
pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran
daya penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan
penting dalam penerapan mutu. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi
kebusukan, kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari produk. Pengamatan
organoleptik dilakukan di hari ke-0, 3, 6, 9 dan pada hari ke-0 dilakukan oleh
5 orang penelis, pada hari ke-3 dilakukan oleh 3 orang penelis, pada hari ke-6
dilakukan 4 orang penelis dan pada hari ke-9 dilakukan oleh 6 orang penelis.
a.
Bau
1 2 3 4 5 6
Keterangan:
1. Feses
2. Agak Feses
3. Sedikit Feses
4. Agak Tape
5. Sedikit Tape
6. Tape
b. Warna
1 2 3 4 5 6 Keterangan:
1.
Coklat
2.
Agak Coklat
3.
Sedikit Coklat
4.
Agak Hijau
5.
Sedikit Hijau
6.
Hijau
E.
Diagram
Alir Praktikum
PEMBUATAN PUPUK
CAIR
|
1kg Daun Gamal
|
4 Kg Feses Sapi (Kadar Air 70 %)
|
Tambahkan
Air 2 liter
|
Tambahkan
Air 8 liter
|
Ekstrak
Daun Gamal
|
Meremas-remes
|
Homogenkan
|
Saring
Beberapa Kali
|
Larutan
Feses
|
Campurkan
Ekstrak Gamal + Larutan Feses
|
Tambahkan
Gula 250 gr
|
Homogenkan
|
Saring
|
Simpan
Dalam Toples Besar
|
Disaring
|
Gambar 1. Diagram Alir Praktikum
Pupuk Cair Feses Sapi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil praktikum
Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil Ternak mengenai pembuatan pupuk cair
dengan memanfaatkan feses sapi, diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1.
Hasil Pengamatan Pupuk Cair Feses Sapi
Hari ke-
|
Parameter
|
|
Bau
|
Warna
|
|
0
|
2
|
5
|
3
|
4
|
3
|
6
|
4
|
4
|
9
|
5
|
3
|
Sumber : Data Hasil Praktikum Teknologi
Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil Ternak,
2015.
Berdasarkan data pada tabel 1, diperoleh
hasil bahwa pengamatan hari ke-0 pupuk cair agak berbau feses dan berwarna sedikit
Hijau. Hal ini dikarenakan adanya indikator penambahan ekstrak daun gamal.
Penambahan ekstrak daun gamal disini berfungsi sebagai sumber unsur hara
terutama kandungan Nitrogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryanto (2000), bahwa kandungan unsur hara
pada ekstrak daun gamal tinggi terutama kandungan nitrogen sebanya 3,48%. Pupuk
cair feses sapi pada hari ke-0 belum dianggap berhasil dan matang karena ciri
fisiknya belum memberikan perubahan yang signifikan dimana berubah warna
menjadi kecoklatan sampai hitam. Menurut
standar kualitas pupuk organik cair SNI 19-7030-2004 dalam Kiswanto H, dkk (2014)
warna pupuk cair yang sudah matang adalah berwarna kecoklatan sampai hitam.
Perubahan warna pupuk terjadi karena denaturasi protein pelindung dalam kloroplas
mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan diganti oleh ion hidrogen.
Berdasarkan data pada tabel 1, diperoleh
hasil bahwa pengamatan pada hari ke- 3 pupuk cair agak berbau tape dan berwarna
sedikit coklat. Perubahan bau pada
pembuatan pupuk cair disebabkan karena bahan anorganik belum terdegradasi
sempurna, sedangkan perubahan warna terjadi akibat pelepasan magnesium dari
klorofil. Hal ini sesuai dengan pendapat Sofyan,
dkk (2007), dalam Kiswanto H, dkk (2014)
yang menyatakan bahwa bau yang ada dalam pupuk cair bersumber dari bahan
anorganik yang belum terdegradasi menjadi bahan-bahan organik. Kemudian
dilanjutkan oleh Kiswanto dan Retno (2014), yang menyatakan perubahan warna
pupuk terjadi karena denaturasi protein pelindung dalam kloroplas mengakibatkan
ion magnesium mudah terlepas dan diganti oleh ion hidrogen. Ion magnesium dari
klorofil akan semakin banyak terlepas karena proses pemanasan dan pengaruh
keasaman.
Berdasarkan data pada tabel 1, diketahui bahwa pada pengamatan hari ke-6
pupuk cair masih berbau agak tape seperti pada hari ke-3 dan berwarna agak
hijau. Perubahan warna ini terjadi akibat bahan organik, seperti pati yang
terlarut, jasad renik dan koloid lainnya yang tidak dapat mengendap dengan
cepat. Hal ini didukung oleh Tjokroadikoesoemo (1986), yang menyatakan bahwa
limbah cair yang sudah busuk berwarna gelap. Kekeruhan yang terjadi pada limbah
disebabkan oleh adanya bahan organik, seperti pati yang terlarut, jasad renik
dan
koloid lainnya yang tidak dapat
mengendap dengan cepat.
Berdasarkan data pada tabel 1, diketahui
bahwa pada pengamatan hari ke-9 pupuk cair masih berbau sedikit tape dan
berwarna sedikit coklat. Hal ini menandakan bahwa semakin lama penyimpanan maka
bau menyengat tape akan semakin berkurang hal ini disebakan proses aerasi yang
dapat mengurai bau pada pupuk cair. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarwanti
(2010) bahwa bau juga menunjukkan kualitas pupuk cair, terutama dari segi
kematangan pupuk. Proses aerasi dapat mengurangi bau yang yang terjadi pada
pupuk cair, namun masih terdapat bau menyengat pada produk akhir pupuk cair
hasil pengkayaan. Hal ini menunjukkan lama proses aerasi yang belum optimal
sehingga masih menimbulkan bau menyengat pada pupuk.
Daun gamal yang akan digunakan pada
pembuatan pupuk cair dihancurkan terlebih dahulu, ini dilakukan agar kandungan
kalium pada daun gamal tidak hilang, karena sel-sel daun dengan vakuola maupun
klorofil yang utuh menimbun banyak K sehingga dapt mempertinggi kadar kalium pada
pupuk cair (Pancapalaga, 2011). Dilannjutkan oleh Jusuf (2006) dalam
Pancapalaga W (2011), bahwa biomassa tanaman gamal (Gliricidia sepium) mudah mengalami dekomposisi, serta mempunyai
bahan organic yang tinggi dan mudah melapuk, sehingga memenuhi syarat untuk
keperluan pemupukan.
Gula digunakan sebagai sumber karbon yang
berperan penting dalam pertumbuhan mikroba, selain itu Gula pasir
pada pembuatan pupuk cair berfungsi sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme,
air berfungsi sebagai katalisator proses-proses biologis dalam proses
fermentasi (Huda, 2009).
Pemeraman
dilakukan agar udara tidak dapat
masuk. Hal ini dilakukan untuk menekan kehilangan nitrogen dalam bentuk
gas amoniak yang menguap. Dengan menyimpannya terlebih dahulu sebelum digunakan
akan meningkatkan kandungan fosfat dan membuat kandungan hara menjadi seimbang.
Penggunaan pupuk kandang cair juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan
fosfat oleh tanaman (Hadisuwito, 2012).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum
teknologi pengolahan limbah dan sisa hasil ternak mengenai pembuatan pupuk cair
dapat diketahui bahwa pupuk cair yang dihasilkan belum bisa dikategorikan
berhasil karena pembuatan pupuk cair ini belum matang sempurna dimana warna
pupuk cair yang sudah matang adalah berwarna kecoklatan sampai hitam.
B.
Saran
Sebaiknya pada untuk mendapatkan hasil
maksimal proses fermentasi dan pengamatan dilakukan lebih lama sehingga dapat
menghasilkan kualitas pupuk cair yang bagus dan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Budiayanto,
Krisno. 2011. Tipologi Pendayagunaan Kotoran Sapi dalam Upaya Mendukung
Pertanian Organik di Desa Sumbersari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
Jurnal GAMMA 7 (1) 42-49.
Hadisuwito, Sukamto.
2012. Membuat Pupuk Organik
Cair. Pustaka AgroMedia. Jakarta.
Haryanto,
T. Suhartini dan E. Rahayu, 2002. Tanaman Sawi dan Selada. Penebar Swadaya.
Depok.
Huda,
N.E. 2009. Pengaruh Penambahan Variasi Masa pati pada Pembuatan Nata De Coco dalam
Medium Fermentasi Bakteri Acetobacter xylium. Skripsi. Fakultas MIPA.
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Jusuf,
Lahadasy, 2006. Potensi Daun Gamal Sebagai Bahan Pupuk Organik Cair. Jurnal Agrisistem Vol.2. No 1.
Kiswanto,
H dan Retno, E M. Kandungan Nitrogen
Total, Kalium dan Warna Pupuk Organik Cair Hasil Pengomposan Ikan Rucah dengan
Starter Terasi Udang dalam Berbagai Dosis. Jurnal Pendidikan Biologi.
Universitas PGRI. Semarang. ISBN 978-602-0960-00-5.
Martinez
dan Jose, Patrick Dabert, Suzelle Barirngton, dan Colin Burton. 2009. dalam
Kasworo, A., Izzati M,. Kismartini. 2013. Daur Ulang Kotoran Ternak Sebagai
Upaya Mendukung Peternakan sapi Potong yang Berkelanjutan di Desa Jogonaya
kecamatan Ngablak kabupaten magelang. Jurnal Lingkungan. ISBN 978-602-I7001-1-2.
Pancapalaga,
W. 2011. Pengaruh Rasio Penggunaan Limbah Ternak dan Hijauan Terhadap Kualitas
Pupuk Cair. Jurnal Pertanian-Peternakan.Vol 7 : September 2011 : 61-68.
Permana, D.
2011. Kualitas Pupuk Organik Cair dari
Kotoran Sapi Pedaging yang Difermentasi Menggunakan Mikroorganisme Lokal.
Skripsi. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Teknologi Bandung.
Sofyan,
E. Ellyta Sari, Riko Rinaldo. 2007. dalam Kiswanto H dan Retno E, M. Kandungan Nitrogen Total, Kalium Dan Warna
Pupuk Organik Cair Hasil Pengomposan Ikan Rucah Dengan Starter Terasi Udang
Dalam Berbagai Dosis. Jurnal Sciences. Pendidikan Biologi Universitas
PGRI Semarang.
Standar
Nasional Indonesia. 2004 dalam Kiswanto H dan Retno E, M. Kandungan Nitrogen Total, Kalium Dan Warna
Pupuk Organik Cair Hasil Pengomposan Ikan Rucah Dengan Starter Terasi Udang Dalam
Berbagai Dosis. Jurnal Sciences. Pendidikan Biologi Universitas PGRI
Semarang.
Sudarwanti, R.
2010. Kualitas Pupuk Cair Hasil Sampingan Monosodium Glutamat dengan penambahan
Feses Sapi Perah dan Sumber Hara Berbeda yang Diperkaya Mikroba Tanah. Skripsi
Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Tjokroadikoesoemo,
P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu
Lainnya. PT Gramedia.
Jakarta.
Lampiran
I. Perhitungan Hasil Uji Organoleptik pada Pembuatan Pupuk Cair Feses Sapi
Warna
·
Hari
Ke-0
·
Hari
Ke-3
·
Hari
Ke-6
·
Hari
Ke-9
3
Bau
·
Warna
Hari Ke-0
·
Hari
Ke-3
·
Hari
Ke-6
·
Hari
Ke-9
Lampiran 2. Dokumentasi Pembuatan pupuk Cair Feses Sapi
Lampiran 3. Lembar Uji organoleptik
Pupuk Cair Feses Sapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar