TUGAS KELOMPOK
MAKALAH WAWASAN SOSIAL BUDAYA
MARITIM
“KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
MARITIM SULAWESI SELATAN”
MUH. FADIEL HAMID
RAHMA NINGSI
WAHYU ARIANTO
UNIT PELAKSANA MATA KULIAH UMUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA PENGANTAR
بِسْــــــــــــــمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, karena atas
rahmat, taufik, dan hidayah-Nylah sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Wawasan
Sosial Budaya Maritim (WSBM) Mengenai “Kearifan Lokal Masyarakat
Maritim Sulawesi Selatan”
sebagai salah satu syarat untuk lulus mata kuliah
ini.
Pada
kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
meluangkan waktunya untuk membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Serta
terima kasih kepada teman-teman atas kerja samanya dlam penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini, tentu masih terdapat beberapa
kesalahan dan amsih jauh dari yang diharapkan. Maka dari itu, kami membutuhkan
kritik dan saran yang bersifa membangun, agar kedepannya dapat mencapai
kesempurnaan.
Akhir
kata, semoga Makalah ini dapat digunakan dan dimanfaatkan bagi kita semua.
Amin.
Makassar, April 2013
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Garna (1994), “sistem sosial
adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang
memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Seperti yang diungkapkan
oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku
sosial”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya
ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan yang tercipta karena adanya
interaksi.
Dari berbagai definisi budaya, dapat
diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sesuatu yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata (konkrit), misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni,
dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Sistem Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari
unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling
berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama
satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam
bermasyarakat.
Sistem kemasyarakatan kearifan lokal Bugis-Makassar,
terbagi atas tiga tingkatan (kasta). Pertama: karaeng (Makassar), menempati
kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial kemasyarakatan. Mereka adalah kerabat
raja-raja yang menguasai ekonomi dan pemerintahan.
Kedua: tu maradeka (Makassar), merupakan kasta kedua
dalam sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar. Mereka adalah orang-orang yang
merdeka (bukan budak atau ata). Masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar)
mayoritas berstatus kasta ini.
Ketiga: ata, sebagai kasta terendah dalam strata
sosial. Mereka adalah budak/abdi yang biasanya diperintah oleh kasta pertama
dan kedua. Umumnya mereka menjadi budak lantaran tidak mampu membayar utang,
melanggar pantangan adat, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, sebagai sunnatullah, sistem
kerajaan runtuh dan digantikan oleh pemerintahan kolonial, stratifikasi sosial
masyarakat Bugis-makassar berangsur luntur. Hal ini terjadi karena desakan
pemerintah kolonial untuk menggunakan strata sosial tersebut. Selain itu,
desakan agama (Islam) yang melarang kalsifikasi status sosial berdasarkan
kasta. Pengaruh ini terlihat jelas menjelang abad 20, dimana kasta terendah,
“ata”mulai hilang. Bahkan, sampai sekarang kaum ata sudah sulit ditemukan lagi,
kecuali di kawasan pedalaman yang masih sangat feodal.
Setelah Indonesia merdeka, 2 kasta tertinggi, yaitu ana’ karaeng dan tu maradeka juga berangsur mulai hilang dalam kehidupan masyarakat.
Memang pemakaian gelar ana’ karaeng, semisal Karaenta, Petta, Puang, dan Andi
masih dipakai, tetapi maknanya tidak sesakral zaman kerajaan. Pemakaian gelar
kebangsawanan tersebut tidak lagi dipandang sebagai pemilik status sosial
tertinggi.
Dalam sistem sosial, juga dikenal
adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat seperti : Sipa’anakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu-kaluki, serta
Sambori.
Kesemua kekerabatan yang disebut di
atas terjalin erat antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan
sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya
akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Sirik na pacce juga merupakan
prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan
terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai
untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering
kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng
paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila
sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat
berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena
tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.
Sistem sosial, kekerabatan dan
nilai-nilai budaya yang dipaparkan di atas juga terdapat dan termanifestasi di
daerah pesisir Makassar sejak dahulu hingga kini.
BAB II
PEMBAHASAN
Nilai-nilai Budaya dan Roh Keberlanjutan
Sumber Daya Laut (SDL)
Pada pembahasan kearifan lokal masyarakat
maritim sulawesi selatan pada pesisir
Makassar. Sepertinya Patorani (Nelayan penangkap Ikan terbang dan telurnya)
yang banyak di pesisir pantai Galesong dan Barombong cukup kapabel untuk
menggambarkan nilai budaya masyarakat pesisir Makassar. Karena budaya patorani
masih berlangsung hingga kini, selain itu hasil tangkapan (telur ikan terbang)
di ekspor, penangkapan ikan terbang juga tergolong unik, karena hanya dilakukan
pada musim kemarau dengan alat tradisional.
Menurut para ahli, di Indonesia terdapat 18
jenis ikan terbang, dan 10 diantaranya hidup diperairan Sulawesi selatan dan
wilayah timur Indonesia. Menurut McKnight (1976) Indonesia adalah pengekspor
teripang dan telur torani tertua didunia, saat Belanda mengalahkan Makassar di
Buton tahun 1667, dan membuat batasan perdagangan bagi orang Makassar, banyak
di antara mereka melarikan diri ke Teluk Carpentaria di Australia, dan kembali
dengan memuat tangkapan hasil laut termasuk teripang. Bukti lain yang mendukung
sejarah ini adalah catatan Flinder dan Pobaso di tahun 1803, yaitu tentang
nelayan Makassar yang sudah sejak 20 tahun sebelumnya berlayar mencari ikan
terbang ke pulau-pulau sekitar Jawa sampai ke daerah kering yang terletak di
selatan Pulai Rote dan Pantai Kimberly, Australia Barat (Clark, 2000; Mc Knight
1976).
Dari sisi teknologi penangkapan
tradisional yang mereka pertahankan itu, hanya menggunakan gillnet (jarring insang) dan pakkaja, sedangkan untuk menangkap
telurnya digunakan pakkaja dan
bale-bale. Penangkapan dilakukan empat atau lima trip, dan setiap trip
sekitar satu bulan dengan jumlah nelayan tiga atau empat orang. Setiap kapal
pattorani membawa bale-bale sekitar 400-1.000 lembar (Safrudin Sihotang, 2008).
Sisi menariknya adalah penggunaan
teknologi dan pengetahuan tradisional (kearifan
lokal) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya. Tradisi mereka tetap dipertahankan walau pengaruh teknologi modern
begitu kuat mempengaruhinya. Struktur sosial masyarakt nelayan ikan terbang
memiliki garis patrilineal
dengan bentuk kerjasama berdasarkan sistem patron klien yang tetap terpelihara.
Struktur kepatoranian terbentuk
suatu organisasi yang saling terkait satu sama lain antara paplele (pinggawa darat), juragong (pinggawa taut) dan sawi (pekerja/buruh) yang berkisar
pada kepentingan-kepentingan untuk saling mendukung dan sating memeriukan dalam
lingkungan unt uk beraktivitas sebagai kcmunitas nelayan patorani. lama
kelamaan pranata-pranata tersebut di atas semakin teratur dan mapan datam arti
sudah melembaga di dikalangan patorani, selanjutnya terbentuklah suatu
organisasi yang disebut popolele_ pinggowa don sawi.
Menurut mereka, sistem nilai budaya
yang berujud siri' dan pesse bahkan menjadi jiwa bagi empat kelompom etnik
besar di Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Siri'
merujuk pada budaya rasa-malu yang mendorong dinamika masyarakat. Menurut Hamid
(2007:7) siri' mendorong munculnya kreativitas dan prestasi, serta rasa malu
kalau berbuat salah dan mengingkari janji atau disiplin. Walapun demikian,
menurutnya, sekarang ini pengertian siri' bergeser pada konsep martabat atau
harga diri bahkan seringkali secara sempit diartikan sebagai ketersinggungan.
Sementara pesse atau pacce mengandung implikasi berikut dari siri' yang berupa rasa
solidaritas (Farid 2007:28-29). Pacce merupakan suatu perasaan sedih yang
menyayat hati apabila ada sesama warga, keluarga atau kawan tertimpa
kemalangan. Rasa ini mendorong orang untuk menolong dan membantu sesamanya.
Umumnya masyarakat nelayan pesisir
pantai Galesong dan Barombong masih percaya sepenuhnya bahwa lautan itu adalah
hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan ajaran agama Islam yang
mereka yakini dan anut secara resmi.
Merekapun tahu bahwa segala sesuatu
yang ada di alam raya ini, termasuk lautan berada di bawah kekuasaan Tuhan Yang
Maha Esa, namun secara tradisional warga masyarakat yang bersangkutan mempunyai
pula kepercayaan, bahwa Tuhan yang disebutnya Koraeng Allah Taala telah
melimpahkan penguasaan wilayah lautan kepada Nabi Hellerek.
Nelayan Mandar pun meyakini juga
akan keberadaan Nabi Khaidir dalam struktur dunia gaib, dimana menempatkannya
diurutan pertama sebagai pemimpin dan penguasa laut. Sementara makhluk-makhluk
halus lainnya dianggap sebagai anggota di bawah kekuasaan dan perintah Nabi
Khaidir. (Arifuddin Ismail, 2007:92).
Masyarakat nelayan patorani
(penangkap ikan terbang /tuing-tuing) membutuhkan persiapan- persiapan:
- Tahap perencanaan ;
mencari waktu baik, menentukan sawi, persiapan dan
pemeliharaan peralatan, persiapan bekal nelayan (bokong), kelengkapan
surat-surat.
- Tahap operasional
Sebelum berangkat Punggawa laut
membaca Pakdoangan (do’a) yang
disebutnya sebagai bagian dari erang
pakboya-boyang juku. Adapun isi dari pakdoangang sebagai berikut:
"Irate
rammang makdonteng, kupailalang sorongang. Naungkomae, pirassianga tangngana
biseangku. Rossi ipantarang, rassi ilalang. Oh ....... , Nabbi. sareanga
dalleku ri Allah Taalah, siagang Nabi Muhammad. Oh ........ , Nabbi Pakere,
Nabbi Hedere, sareanga mange dallekku ri Allah Taalah, siagang Nabbi Muhammad”
Artinya : Di atas awan menggumpal, dengan penuh
harapan. Turunlah, penuhilah perahuku. Penuh di luar, penuh di dalam. Wahai
.... Nabi (Dewa-dewa ikan), berikan rezeki dari Allah SWT bersama Nabi
Muhammad. Wahai..... Nabi Pakere, Nabi Haidir, berikan juga rezekiku dari Allah
bersama Nabi Muhammad.
"lkau makkalepu, areng
tojennu ri Allah Taalah. Boyangak dallekku battu ri Allah Taala.
Malewai ri kanang, I
Mandacingi ri kairi. Tallangpi lina, kutallang todong. Jai leko rilino. Jai
tongi dallekku ri Allah Taala. 0 ..... , Nabbi Hellerek. Allei dalleknu.
Palakkang tongak dollekku.
Artinya: Engkau yang sempurna. Nama aslimu dari Allah
Taala. Carikan rezekiku dari Allah. Si penegak di sebelah kanan, Si penyeimbang
disebelah kiri. Tenggelam dunia, kutenggelam juga. Banyak daun di dunia, Banyak
juga rezekiku dari Allah. Oh ... , Nabi Khaidir, Ambillah rezekimu, mintakan
juga rezekiku.
Dan masih banyak lagi do’a-do’a
lainnya, yang pola umumnya mengharapkan Ridho Allaw swt melalui perantara Nabi
(Tawassul).
- Tahap pengangkutan produksi dan pemasaran.
Tradisi yang berlangsung hingga kini
di masyarakat pesisir ‘patorani’ yaitu ritual Patorani, Pantangan, ranah suci
Patorani, Pappasang (Akkareso, Barani, Assitulung-tulung dan Siri’ Na Pacce).
Sudah menjadi kebiasaan sebelum
Patorani berangkat melaut melakukan ritual Doa Patorani , membaca bait doa
sebelum berangkat berlayar. “ Ikau
irumpa, areng tojennu ri Allah Taala. Inakke bitti riukkung, areng tojengku ri
Allah Taalah. Ri langi tumabbuttanu ”.
“Pada bait ini mengungkapkan tentang makna hakiki dari
perahu yang digunakan untuk beroperasi. Ungkapan itu merupakan pandangan yang
menunjukkan bahwa, perahu itu pada dasarnya menyerupai manusia yang diciptakan
atas keinginan Tuhan. Oleh sebab itu, setiap perahu yang ingin
digunakan untuk beroperasi oleh kelompok pattorani
maka punggawa laut harus dapat berkomunikasi secara batin dengan perahunya.
dalam komunikasi ini, keduanya saling memperkenalkan eksistensinya
masing-masing. Di samping itu, punggawa laut sudah dapat mengetahui apakah
perahu itu bersedia untuk mengantar dan menjaga keselamatan seluruh anggota
kelompok dalam operasi pengumpulan produksi, ataukah sebaliknya. Selama dalam
perjalanan menuju lokasi penangkapan, punggawa laut pada saat tertentu
melakukan komunikasi secara batin dengan mengharapkan fungsi perahu dapat
berjalan sesuai dengan harapan-harapan yang ada. Harapan-harapan tersebut
merupakan perwujudan dari kategori “kearifan lokal”.” (Akzam Amir, 2011).
“Areng
tojennu ri Allah Taala. Allah Taala ampakjariko biseang. Allah Taala behupahi.
I bungan daeng riboko. Bunga intang ritangngana. Rimpaki dalleknu. Ri Allah
Taala. siagang Nabbi Muhammad”.
“Pada bait ini, juga termasuk
“kearifan lokal”. Dalam bait ini, punggawa perahu atau punggawa laut
menyampaikan atau memberitahukan kepada perahu bahwa sebenarnya nama asli
perahu ada di tangan Allah yang menciptakanmu. Berusahalah mencari rejeki yang
diberikan kepadamu oleh Allah dan Nabi Muhammad.” (Akzam Amir, Unhas, 2011).
Di masyarakat pesisir Barang Lompo
melakukan upacara Pa’rappo yakni upacara ritual yang dilaksanakan oleh para
nelayan sebelum turun ke laut, dan upacara Karangan yakni upacara ritual yang
dilakukan oleh para nelayan ketika pulang melaut dengan memperoleh hasil yang
berlimpah.
Dahulu kala bahkan dibeberapa tempat
tertentu, tradisi membagikan hasil tangkapan ke tetangga-tetangga masih
berlangsung sebagai wujud kesyukuran dan semangat berbagi dengan sesama. Namun
seiring perkembangan zaman, merebaknya budaya kapitalis, banyak nelayan atau Papalele, atau eksportir yang sedikit
menggerus tradisi berbagi dikalangan para nelayan.
BAB III
PENUTUP
Sistem Sosial Budaya merupakan suatu
keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia
yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta
bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup
manusia dalam bermasyarakat.
Sistem sosial dan nilai budaya
masyarakat pesisir Makassar sejak dahulu kala mampu menjadi kekuatan untuk
bertahan hidup, dan memenuhi kebutuhan dasar mereka, bahkan komoditas tertentu
bisa menajdi komoditas ekspor. Selain itu nilai budaya yang menunjukkan
penyerahan diri total kepa Allaw SWT dalam melakukan aktivitas ekonomi dapat
menjadi formula untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya laut.
Hal ini merupak wujud semangat Akkareso (Makkareso) dengan menjaga harmoni
semesta Tuhan-Alam-Manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonima,
2011. Kebudayaan Suku Bangsa Bugis Makassar. http://texbuk.
blogspot.com/2011/11/kebudayaan-suku-bangsa-bugis-makassar_1709.html .
Anonimb,
2010. Pasompe jiwa pelaut pedagang Bugis. http://www.rappang. com/2010/02/pasompe-jiwa-pelaut-pedagang-bugis.html?m=0
Adisasmita, Rahardjo, Pengembangan Ekonomi Maritim, Universitas
Hasanuddin.2010.
Alfian Noor,
dkk. Radioaktivitas Lingkungan Pantai
Makassar: Pemantauan unsur Torium (th) dan Plutonium (pt) dalam Sedimen
Makassar. UNHAS-Pusdiklat BATAN Jakarta. 2001
Arifin
Taslim, dkk., (2012), Riset Pendekatan
Ekologi-Ekonomi Untuk Peningkatan Produktivitas Pertambakan Udang Di Kawasan
Selat Makassar, Provinsi
Sulawesi Selatan, Kementerian Kelautan Dan Perikanan
Lampe Munsi,
Strategi-strategi Adaptif Nelayan: Studi Antropologi Nelayan. Essai
Antropologi-IKA Press, Unhas. 1992
Mahmud,lrfan
M. (ed), Tradisi, laringan Maritim, Sejarah-Budaya: Perspektif
Etnoarkeologi-Arkeologi Sejarah. Lembaga Penerbttan Universitas Hasanuddin
(Lephas). 2002.
____,
Memanfaatkan Potensi Sosial Budaya Lokal untuk Pengembangan Manajemen Perikanan
Lout Berbasis Masyarakat. Makalah, Jurnal Antropologi lndonesia-Fisip UI-Fisip
Unhas. 2000.
Nasruddin., Kearifan Lokal dalam Penangkapan Telur Ikan
Torani sebagai Komoditas Ekspor pada Masyarakat Pesisir di Galesong, Sulawesi
Selatan. Kementistek, 2010
------------. 1975. Latoa, Suatu
Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Disertasi.
Wahyudin,
Yudi., Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar